Rabu, 30 November 2011

Rindu Baitullah

Abi Sabila

Merindu Baitullah

18/11/2011 | 21 Zulhijjah 1432 H | Hits: 1.386
Oleh: Abi Sabila

Masjidil Haram (Arab News/RoL)

dakwatuna.com - Aku sengaja bertahan meskipun sebagian besar jamaah shalat Idul Adha sudah pulang ke rumah masing-masing. Bahkan sampai semua tikar yang dihamparkan di halaman mushalla sudah selesai dirapikan, aku masih menunggu lelaki itu menyelesaikan shalat dhuhanya. Ada sesuatu yang membuatku penasaran dan ingin segera kudapatkan jawaban darinya.
Lelaki bersarung coklat itu datang kurang lebih tiga puluh menit sebelum shalat Idul Adha dimulai, hanya berselang beberapa menit setelah kedatanganku. Dia mengambil tempat duduk tepat di samping kananku. Sejak kedatangannya, dia lebih banyak menunduk. Suara takbirnya hanya samar-samar kudengar. Beberapa kali aku sempat menangkap gerakan tangannya mengusap mukanya. Lebih tepatnya menghapus air mata yang meleleh di pipinya.
Gerak tangannya yang sebisa mungkin dia sembunyikan dari orang banyak itu semakin sering kulihat ketika sang khatib mulai menyampaikan khutbah Idul Adha pagi itu. Barangkali tidak banyak jamaah yang menyadari, namun dia tak bisa menyembunyikannya dariku, yang secara diam-diam memperhatikan gerak-geriknya sejak awal kedatangannya. Aku tahu persis saat isak tangis tak dapat ditahannya, juga ketika pundaknya terguncang setiap khatib melafalkan kalimat  Labbaika Allahumma labbaika. Labbaika la syarika laka labbaika.
Innal hamda wanni’mata laka wal mulka. laa syarika laka…

“Maaf, jika karena saya kekhusyukan Mas jadi terganggu “ suaranya masih serak ketika lelaki itu menjawab pertanyaanku mengapa dia menangis saat khatib menyampaikan khutbah tadi. Wajahnya tertunduk, dia terlihat salah tingkah di depanku.
“Oh nda, justru aku yang minta maaf. Mungkin aku yang terlalu ingin tahu persoalan pribadimu“ jawabku agak gugup. Jujur aku jadi malu dan baru sadar, jangan-jangan rasa penasaranku sudah melanggar batas privasinya.
“Betul Mas, tadi saya memang menangis saat mendengar khutbah ustadz Ja’i. Bahkan sejak saya datang di mushalla ini, sebenarnya sudah tak bisa menahan perasaan saya. Saya menangis karena saya rindu Mas, rindu sekali…” suara laki-laki yang terlihat segar dengan baju koko warna hijau muda itu terhenti. Dia tertunduk, entah malu atau masih mencoba menata perasaannya.
“Mas rindu dengan keluarga? Rindu orang tua, anak atau istri ?” cecarku semakin penasaran.
Dia tak langsung menjawab. Kulihat dia menarik nafas cukup panjang. Kupastikan dia sedang menata perasaannya sebelum menjawab pertanyaanku.
“Bukan! Kedua orang tua saya hari ini justru baru datang dari kampung. Pagi tadi mereka sampai di rumah kakak saya di Cibitung. Kalau istri dan anak saya kan ada di sini, kumpul dengan saya setiap hari. Siang nanti kami akan ke sana, berkumpul dengan saudara-saudara yang lainnya. Kebetulan besok kakak saya akan mengadakan resepsi pernikahan salah anaknya.”
Aku terdiam, menunggu penjelasannya lebih lanjut. Tak lama kemudian dia pun melanjutkan ceritanya.
“Saya rindu Baitullah, Mas. Saya ingin sekali bisa ziarah ke Mekah dan Madinah. Saya ingin sujud di depan Ka’bah, bersimpuh di Arafah. Tapi semua itu masihlah mimpi, semuanya karena alasan ekonomi” kali ini lelaki ini menjawab tanpa memandang ke arahku. Diarahkan pandangannya pada atap tempat wudhu yang baru selesai dikerjakan seminggu yang lalu. Nyata sekali dia tak ingin aku melihat matanya yang kembali berkaca-kaca.
Layaknya orang yang sedang jatuh cinta, ketika rindu menyapa maka bukan hanya makan saja yang tak enak, namun tidur pun menjadi tak nyenyak. Barangkali begitulah rasa rindu yang kini menyelimuti hati dan perasaan lelaki beranak satu ini. Bisa jadi malah rasa rindu itu sudah begitu mendendam, hingga hatinya begitu mudah tersentuh hanya dengan mendengar takbir berkumandang.
Beberapa saat kami saling terdiam, menyelami perasaan masing-masing. Timbul perasaan malu dalam hatiku bila mengingat pertanyaanku tadi. Dugaanku ternyata salah, terlalu rendah dan murah mengartikan tangisannya. Dia bukan sekedar merindukan perjumpaan dengan keluarganya, tapi lebih dari itu. Dia merindukan kehadirannya di Baitullah.
Kalau keinginan untuk bisa menunaikan ibadah haji, aku rasa bukan hanya aku atau dia, tapi seluruh muslim di penjuru dunia ini memiliki keinginan yang sama. Jangankan yang belum pernah, rata-rata yang sudah pernah ibadah haji pun ingin mengulangnya lagi. Lagi dan lagi. Saat-saat menyimak khutbah Idul Adha adalah saat yang paling mudah menggugah perasaan haru mereka yang sudah menunaikan ibadah haji. Tak heran bila ada seorang khatib yang suaranya tiba-tiba menjadi terbata ketika menyampaikan khutbahnya. Kenangan indah di Baitullah membuat hatinya menjadi mudah tersentuh.
Tapi lelaki yang kini duduk tepat di depanku dan masih belum mau menghadapkan kembali wajahnya kepadaku sedemikian terharunya hingga tak mampu menahan tangis, padahal setahuku dia belum pernah melaksanakan ibadah haji. Kalau bukan karena manisnya kenangan, pastilah karena kerinduan yang mendalam tentang indahnya menjadi tamu Allah yang selama ini baru mampu ia bayangkan. Aku kembali merasa malu. Satu hal yang tak pernah terjadi pada diriku, meski kupastikan bahwa dalam hatiku pun sebenarnya merindukan ‘panggilan’ itu ditujukan kepadaku.
Sesaat kemudian aku tersadar. Aku yang telah membuat suasana hatinya semakin pilu, maka aku pulalah yang harus menghiburnya.
“Maaf, sekali lagi saya minta maaf jika pertanyaan saya tadi justru membuat hati Mas semakin sedih. Insya Allah keharuan yang Mas rasakan, kerinduan yang Mas tahankan, mudah-mudahan membukakan jalan dan memudahkan segala urusan untuk bisa mewujudkan mimpi menunaikan ibadah haji. Mungkin tahun sekarang belum, tahun depan siapa tahu. Bukankah Allah Maha Kaya. Juga Maha Kuasa. Bukan perkara besar bagi Nya memberikan jalan bagi Mas untuk bisa menunaikan ibadah haji. Jagalah terus niat dan keinginan, gunakan waktu menunggu ini untuk mengumpulkan ilmu. Dan jangan lupa pula untuk terus menabung. Mas sudah mulai menabung kan?” aku mencoba menghiburnya, membangkitkan kembali semangatnya.
Lelaki itu hanya menjawabnya dengan anggukan dan senyuman. Aku membalasnya dengan tersenyum pula. Kujabat erat tangannya, dan kamipun kemudian berpisah. Aku harus segera pulang karena istri dan anakku pasti sudah menunggu di rumah.
***
Saudaraku, dengan dalamnya rindu yang kau rasakan, derasnya air mata yang kau teteskan, semoga Allah memudahkan bagimu jalan untuk bisa mewujudkan impian, harapan dan keinginan menyempurnakan rukun Islam. Bukan hal mustahil jika tahun depan Allah memilihmu menjadi tamuNya, karena Dia Maha Kaya, Maha Kuasa, Maha Berkehendak dan Maha Segalanya. Insya Allah….

http://www.dakwatuna.com/2011/11/16160/merindu-baitullah/

Partisipasi Dalam Kerja Amal Jama'i

Halaqah

Berpartisipasi Dalam Kerja-Kerja Amal Jama'i

Posted by: hendra on Thursday, September 25, 2003 - 08:06

Lalu, para Malaikat mendatangi Nabi Adam AS untuk mengetahui sejauh mana ilmunya. Mereka bertanya:”Siapakah namanya, Adam?” Jawab Adam:”Hawwa!” Malaikat bertanya:”Mengapa namanya Hawwa?” Jawab Adam:”Karena dia dijadikan dari benda hidup” (Tafsir Ibnu Katsir).

Itulah interaksi sosial pertama yang terjadi antara dua manusia. Interaksi sosial merupakan fithrah basyariyah (naluri manusia) yang menjadikan hidup menjadi indah dan lebih bermakna. Keadaan Nabi Adam AS sebelum kedatangan Hawwa digambarkan dalam Tafsir Ibnu Katsir “berjalan-jalan sendirian dan kesepian”.

Setelah itu, lahirlah keturunan dari Adam dan Hawwa, baik keturunan laki-laki atau perempuan, sehingga jumlahnya menjadi milyaran ummat manusia seperti sekarang ini. Allah Ta’ala berfirman:“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya dan daripada keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan wanita yang banyak …” (An Nisaa’ [4]: 1).

Firman-Nya yang lain:”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku …” (Al Hujuraat [49]: 13).

Dengan semakin berkembang biaknya laki-laki dan wanita dalam jumlah yang banyak, menjadi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa; maka mau tidak mau, suka tidak suka, manusia akan berinteraksi dengan manusia lainnya. Baik dalam lingkungan yang padat, atau dalam ligkungan yang jarang penduduknya. Keharusan berinteraksi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluq sosial seperti kakeknya terdahulu, Nabi Adam dengan Ibu Hawwa.

Allah Ta’ala berfirman:”… Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (An Nisaa’ [4]: 1).

Dalam firman-Nya yang lain:”… menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal …” (Al Hujuraat [49]: 13).

Demikianlah, Allah Ta’ala telah menjelaskan kepada kita rahasia penciptaan manusia yang beragam kulit, bahasa, tradisi dan alamnya. Semuanya tidak dalam rangka manusia saling bermusuhan dan menumpahkan darah. Tetapi untuk saling mengenal, saling membutuhkan dan saling mengunjungi. Rasulullah SAW sendiri tidak pernah berupaya merubah nama suku shahabatnya; seperti suku Auz dengan Kazraj, meskipun kedua suku tersebut pernah terlibat peperangan yang lama. Rasulullah SAW tidak merubah kedua nama suku itu, yang dihilangkan bukan namanya, tetapi sikap permusuhan di antara keduanya dan diganti dengan sikap persaudaraan. Demikian pula antara shahabat Muhajirin dan Anshar serta shahabat lainnya. Dan dengan begitu, kehidupan menjadi indah dan menggairahkan.
ISLAM TIDAK ANTI SOSIAL

Rasulullah SAW mengajak ummatnya untuk bergaul dengan masyarakatnya dan bershabar terhadap berbagai macam perilaku mereka. Sabdanya:”Seorang Mu’min yang berinteraksi dengan masyarakat dan bershabar terhadap segala macam cobaan dari mereka lebih agung pahalanya daripada seorang Mu’min yang tidak berinteraksi dan tidak bershabar terhadap cobaan manusia” (HR. Muslim).

Kata “lebih agung pahalanya” merupakan dorongan Rasulullah SAW kepada ummatnya untuk bergaul atau berinteraksi dengan manusia lainnya. Sedangkan hijrah untuk meninggalkan manusia ramai kemudian menyendiri dalam kehidupan merupakan perkara yang tidak diajarkan dalam Islam, karena Rasulullah SAW telah bersabda:”Tidak ada lagi hijrah setelah penaklukan kota Makkah” (Riyadhush Shalihin). Sebagai gantinya, Islam mengajarkan ummatnya untuk melakukan hijrah ma’nawi atau isolasi mental. Rasulullah SAW bersabda:”Muhajir (orang yang hijrah) adalah mereka yang meninggalkan segala sesuatu yang dilarang oleh Allah Ta’ala” (HR. Muslim).

Dari sabda Rasulullah SAW ini, dapat kita fahami bahwa yang dimaksud hijrah adalah meninggalkan segala sesuatu yang dilarang Allah Ta’ala, tanpa harus berpindah secara fisik. Inilah yang dimaksud dengan hijrah ma’nawiyah atau isolasi mental. Secara fisik bergaul dengan masyarakat ramai, tetapi secara mental meninggalkan kemaksiatan yang mereka lakukan.

Tentu saja, yang dimaknai bergaul dengan masyarakat bukan berarti bergaul secara akrab dengan para pelaku maksiat; sampai memberikan solidaritas dan loyalitas kepada mereka. Karena Rasulullah SAW memberikan peringatan:”Seseorang itu bersama agama temannya. Maka hendaklah seseorang memperhatikan dengan siapa dia berteman” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Berarti yang dimaknai bergaul adalah berinteraksi dalam perkara-perkara mu’amalah seperti jual-beli, bertetangga, berteman, berorganisasi atau yang lain; sembari berda’wah untuk mengarahkan mereka terbiasa dengan akhlaq-akhlaq Islami.

Beberapa orang Muslim yang ingin menyendiri dalam kehidupan dan tidak mau bergaul dengan masyarakat ramai mempunyai alasan yang kurang tepat. Beberapa sikap dan pemikiran yang kurang tepat adalah:

1. Belum berda’wah tetapi sudah memvonis

Islam tidak mangajarkan kepada ummatnya untuk menjadi tukang vonis, tetapi Islam mengajak ummatnya untuk menjadi seorang da’i. Allah Ta’ala berfirman:”Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka” (Al Ghaasyiyah [88]: 21-22).

Seringkali kita memvonis masyarakat dengan vonis yang menyakitkan, seperti: sesat, kafir, murtad, ahli neraka dan lain-lain. Sementara kita sama sekali belum berd’awah kepada mereka dengan cara-cara yang diajarkan Rasulullah SAW. Sikap seperti ini meneybabkan terjadi rentangan jarak yang jauh antara kita dengan masyarakat. Atau, menyebabkan kita lebih suka menyendiri daripada bergaul untuk berda’wah.

Tentu saja sikap seperti ini tidak tepat, karena berda’wah itu adalah langkah pertama yang harus dilakukan dalam berhubungan dengan manusia. Dan dengan da’wah pulalah kita bergaul dengan masyarakat ramai. Sedangkan sikap suka menjatuhkan vonis kepada msyarakat bukanlah ajaran Islam, karena Rasulullah SAW bersabda:”Saya tidak diutus untuk menjadi tukang cela, tetapi untuk menjadi pemberi rahmat” (Tafsir Ibnu Katsir).

2. Semua jama’ah dan organisasi Islam sesat dan firqah

Allah Ta’ala berfirman:”Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (Ar Ruum [30]: 32).

Rasulullah SAW bersabda:”Ummatku terpecah menjadi tujuhpuluhtiga firqah, tujuhpuluh dua masuk nerakadan satu yang masuk surga; itulah jama’ah” (HR. Ahmad).

Dalil-dalil di atas atau yang serupa dengannya, seringkali disikapi keliru oleh beberapa gelintir Kaum Muslimin. Sikap yang keliru tersebut adalah:

a. Menganggap seluruh jama’ah Kaum Muslimin adalah sesat dan firqah

b. Menganggap hanya jama’ahnya yang memenuhi kriteria di atas, sehingga hanya jama’ahnya yang berhak masuk surga. Sedangkan jama’ah lain akan masuk neraka.

Kedua sikap ekstrem tersebut tentu saja sikap yang tidak tepat. Karena ayat beserta hadits di atas, atau yang sejenis dengannya, hanya menunjukkan sifat-sifat golongan yang benar atau kelompok yang sesat. Dalil-dalil seperti itu sama sekali tidak menunjukkan suatu nama tertentu. Sehingga setiap kelompok, golongan atau jama’ah yang memenuhi sifat-sifat kebenaran seperti itu masuk dalam golongan yang selamat; apapun namanya. Demikian pula sebaliknya, jika ada kelompok, golongan atau jama’ah yang memenuhi sifat-sifat kesesatan, maka dia akan masuk dalam golongan yang celaka; apapun namanya.

Sehingga, tidak ada organisasi yang benar sendiri tidak pula seluruh organisasi sesat. Kita lihat dulu sifat-sifat organisasi tersebut secara obyektif. Sudut pandang inilah yang Islami dan menghindarkan diri kita dari keengganan untuk bergaul dengan mesyarakat ramai yang mengikuti berbagai macam organisasi.

3. Berinteraksi dengan pelaku maksiat dilarang dalam Islam

Rasulullah SAW pernah bersabda:”Seseorang itu bersama agama temannya. Maka perhatikanlah dengan siapa seseorang itu berteman” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Dengan sabda Rasulullah Saw ini ada beberapa Kaum Muslimin yang beranggapan bahwa berinteraksi dengan pelaku maksiat itu dilarang.

Tentu saja pemahaman ini tidak seratus persen benar dan juga tidak seratus persen salah. Yang diingatkan Rasulullah SAW adalah pertemanan bukan interaksi. Yang diamksud dengan pertemanan adalah tempat seseorang meletakkan rasa solidaritas, menumpahkan perasaan dan tempat memberikan loyalitas. Pertemana seperti inilah yang harus dijaga tetap dengan orang-orang yang shalih, bukan dengan para pelaku maksiat.

Sedangkan interaksi itu dapat bermakna sangat luas. Karena da’wah itu sendiri adalah sebuah bentuk interaksi terus-menerus antara seorang juru da’wah dengan obyek da’wahnya. Di antara obyek da’wah adalah para pelaku maksiat. Tentu saja, interaksi da’wah dengan para pelaku maksiat bukan dalam rangka pertemanan, yaitu bukan dalam rangka memberikan rasa solidaritas, menumpahkan perasaan serta tempet memberikan loyalitas. Tetapi dalam rangka mengarahkan, meluruskan serta mengurangi intensitas kemaksiatannya.

Seseorang yang menganggap interaksi dengan pelaku maksiat dilarang menyebabkan dia mengambil sikap menyendiri dan menyepi serta mengindarkan diri dari bergaul dengan sesama manusia. Sikap inilah yang tidak tepat.

4. Sekarang ini adalah masa kerusakan

Rasulullah SAW bersabda:”Akan datang suatu masa yang menimpa manusia; tidak ada Islam kecuali tinggal namanya saja, tidak ada Al Qur’an kecuali tinggal tulisannya saja, masjid-masjid mewah tetapi kosong dari petunjuk serta ulama’nya adalah orang yang paling jahat yang berada di bawah langit …” (HR. Al Baihaqi).

Hadits di atas serta hadits-hadits yang sejenis dijadikan sebagai alasan oleh beberapa Kaum Muslimin untuk menggambarkan kondisi zaman sekarang ini. Sebagian berpendapat sangat ekstrem , yaitu sekarang adalah zaman paling rusak dan sudah tidak mungkin lagi untuk diperbaiki kembali. Sehingga mereka memilih mundur dan menyepi dari keramaian manusia; dengan anggapan supaya selamat dunia akhirat.

Anggapan seperti ini tentu saja tidak dapat dikatakan benar seratus persen. Karena masih banyak hadits lain yang menunjukkan bahwa akhir zaman ditandai dengan kehadiran Dajjal, Nabi Isa, Imam Mahdi, Ya’juj dan Ma’juj dan lain-lain. Semuanya itu belum terjadi. Belum lagi Rasulullah SAW pernah bersabda:”… Kemudian akan datang lagi masa kekhilafahan yang ditegakkan atas dasar-dasar kenabian ketika Allah berkehendak untuk mendatangkannya …” (HR. Ahmad). Dan masa kekhilafahan kedua ini juga belum terwujud. Bagaimana bisa bahwa zaman sekarang ini adalah rusak-rusaknya zaman, sementara ciri-ciri akhir zaman belum terwujud?

Anggapan yang keliru seperti ini menyebabkan manusia mengambil sikap yang tidak tepat pula; di antaranya adalah dengan mengasingkan diri dari masyarakat ramai dan hanya asyik dengan dirinya-sendiri.


SIKAP DIRI

Sebenarnya, ada potensi dasar pada diri seseorang yang menyebabkan masyarakat mudah menerima kehadirannya. Beberapa karakteristik dasar tersebut antara lain:

· Penduduk asli lebih diterima daripada pendatang
· Orang tua lebih diterima daripada anak muda
· Keturunan tokoh lebih diterima daripada keturunan orang biasa
· Orang kaya lebih diterima daripada orang miskin
· Orang yang suka memberi lebih diterima daripada orang yang pelit
· Orang yang suka menolong lebih diterima daripada orang yang berat untuk menolong
· Orang yang pandai bergaul lebih diterima daripada tidak suka bergaul

Potensi dasar ini harus senantiasa diupayakan supaya da’wah kepada masyarakat mengalami percepatan yang signifikan. Proses percepatan dapat melalui pernikahan, pelatihan, pendistribusian dana dan lain-lain.

Selain potensi dasar pada diri seseorang, terdapat pula sikap diri yang harus dimunculkan dalam diri seseorang ketika bergaul dengan masyarakat. Sikap diri inilah yang menyebabkan masyarakat lebih mudah menerima kehadiran kita, tidak mempunyai alasan untuk memusuhi serta menyambut da’wah kita atas ijin Allah Ta’ala.

1. Empati sebagai sikap dasar pergaulan

Sikap dasar pergaulan yang ideal adalah empati. Yang dimaksud dengan empati adalah:

a. Memandang manusia dengan kacamata kasih-sayang

Allah Ta’ala mengutus Rasulullah SAW sebagai rahmah (kasih-sayang) bagi seluruh penghuni bumi. Firman-Nya:”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Al Abiyaa’ [21]: 107). Tentua saja kacamata rahmah (kasih-sayang) bersifat universal, yaitu ditujukan kepada seluruh ummat di dunia. Baik yang Muslim atau Non Muslim, bahkan untuk manusia atau binatang, tumbuhan dan benda-benda lain di dunia. Tetapi dalam pembahasan kita kali ini, rahmat itu ditujukan kepada seluruh ummat manusia.

Inilah yang diajarkan Rasulullah SAW kepada Abdurrahman Bin ‘Auf ketika dia meminta kepada Rasulullah SAW untuk membalas celaan orang-orang kafir Quraisy. Rasulullah SAW bersabda:”Sesungguhnya aku ini diutus bukan untuk menjadi tukang laknat (tukang cela), tetapi untuk memberikan rahmah (kasih-sayang)” (Tafsir Inu Katsir).

Demikian pula, ketika Rasulullah SAW dilempari batu oleh penduduk Thaif yang membawa kesedihan sangat mendalam di hati beliau. Maka beliau berdo’a:”Ya Allah, ampunilah mereka. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengetahui” (HR. Bukhary dan Muslim).

Begitulah ketika kita berinteraksi dengan masyarakat, kita harus memandang mereka dengan kacamata kasih-sayang, bukan kebencian dan kemarahan. Rasulullah Saw mengingatkan:”Jauhkan dirimu dari sangka-sangka, karena sangka-sangka itu sedusta-dusta berita. Dan jangan meraba-raba dan jangan menyelidiki kesalahan orang …” (HR. Muslim).

Segala bentuk perilaku masyarakat, baik yang menyenangkan atau menjengkelkan hati kita, kita sikapi dengan tatapan kasih-sayang. Bukan balas-dendam, kemarahan dan kebencian. Sambil kita berdo’a di hadapan Allah Ta’ala:” Ya Allah, ampunilah mereka. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengetahui”

b. Ikut merasakan alunan perasaan orang lain

Rasulullah SAW mengajarkan kepada seorang Muslim untuk menghargai perasaan orang lain. Perasaan senang, sedih, gembira, kecewa, susah dan lain-lain. Bnetuk penghargaan perasaan kepada orang lain adalah dengan ikut serta merasakan perasaan orang lain. Jika orang lain sedih, kita ikut menampakkan ekspresi kesedihan. Jika orang lain bergembira, maka kita juga semestinya menampakkan ekspresi kegembiraan. Begitu pula dengan perasaan-perasaan yang lain.

Rasulullah SAW bersabda:”Jangan menunjukkan kegembiraanmu dalam kesusahan saudaramu, maka Allah akan menyembuhkan (menyelamatkannya) dan membalas ujian padamu” (HR. At Tirmidzi; Riyadhush Shalihin II, 450).

Tentu saja, sikap ini bukan bertujuan untuk memperparah keadaan. Misalkan seseorang yang bersedih menjadi sedih berkepanjangan, atau seseorang yang bahagia melampiaskannya dengan hura-hura berlebihan. Tetapi sikap ini bertujuan untuk melegakan perasaan seseorang, terutama yang tengah dirundung derita. Karena dalam kesedihannya, masih ada orang lain yang menanggapi dan memberi perhatian kepadanya. Dalam suasana seperti itulah, nasihat yang baik akan lebih menghujam di dalam qalbu.

c. Perhatian

Perhatian adalah sebuah bentuk pencurahan pikiran dan perasaan seseorang untuk kebaikan orang lain. Lawan perhatian adalah cuek dan tidak mau tahu persoalan orang lain. Orang seperti ini, cuek dan tak mau tahu, biasanya cenderung egois atau hanya asyik dengan dirinya sendiri. Terserah saja apa yang terjadi pada orang lain, asalkan tidak menimpa diri saya.

Bentuk perhatian ini tentu saja bukan bertujuan untuk mengorak aib orang lain. Tetapi perhatian adalah lebih bertumpu kepada komitmen seseorang untuk ikut membantu orang lain bergembira dan berbahagia.

d. Basa-basi

Basa-basi yang dimaksud di sini bukan berarti basa-basi tanpa arti. Tetapi basa-basi yang dapat melunturkan rasa dengki dan kemarahan seseorang kepada kita. Selain itu, basa-basi ini memang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sabdanya:”Janganlah kalian meremehkan sedikitpun kebaikan, meskipun hanya dengan wajah manis ketika bertemu dengan saudaramu” (HR. Muslim).

Di antara bentuk basa-basi itu adalah:

i. Salam

Ucapan salam kelihatannya terkesan hanya sebuah basa-basi. Tetapi sebenarnya, setiap manusia sangat suka menerima salam dari orang lain; karena merasa mendapat perhatian. Rasulullah SAW bersabda:“Demi Dia yang nyawaku berada di tangan-Nya. Kalian tidak akan masuk surga, sampai kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman, sampai kalian saling berkasih-sayang. Maukah kalian saya tunjukkan suatu perbuatan jika kalian lakukan akan tumbuh rasa kasih-sayang di antara kalian? Sebarkanlah salam di antara kalian” (HR. Muslim).

ii. Wajah Manis

Wajah ceria dengan senyum yang tulus merupakan bantuan moril kepada orang lain untuk turut berbahagia menghadapi hari ini. Karena dengan keceriaan wajah dan senyuman kita, seseorang akan terhipnotis ikut bergembira. Untuk itulah Rasulullah SAW berpesan:“Janganlah kalian meremehkan sedikitpun perbuatan yang ma’ruf meskipun hanya dengan berwajah manis ketika bertemu dengan saudaramu” (HR. Muslim).

iii. Jabat-tangan

Jabat-tangan yang ikhlas akan melebur rasa dendam dalam hati dan menggantikannya dengan rasa sayang serta saling memaafkan. Jabat-tangan juga mampu menumbuhkan rasa akrab serta mencairkan ketegangan suasana. Rasulullah SAW bersabda:“Tidaklah dua orang Muslim yang bertemu kemudian berjabat-tangan, kecuali Allah mengampuni dosa di antara keduanya sampai keduanya berpisah” (HR. Abu Dawud).

iv. Memanggil dengan nama yang disukai

Jika kita kenal nama seseorang, kemudian memanggil dengan namanya, maka keakraban akan dengan cepat mudah terjalin. Terlebih lagi, bila kita tahu nama kesukaan seseorang atau nama kebanggaannya, dan kita panggil orang tersebut dengan nama-nama itu; maka perasaan in group akan cepat tumbuh. Yaitu perasaan tidak terpisahkan antara kita dengan dirinya.

Allah Ta’ala berfirman:“… dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk …” (Al hujuraat [49]: 11).

v. Memberi hadiah

Hadiah dapat memupus rasa permusuhan dan menggantinya dengan cinta. Rasulullah Saw bersabda:”Saling bertukar hadiahlah sehingga kalian saling berkasih-sayang” (HR. Muslim).


2. Teladan sebagai contoh praktis kehidupan


Masyarakat sangat tidak menyukai teori dan konsep yang muluk-muluk dan melangit; terutama sekali masyarakat awam. Tetapi masyarakat lebih membutuhkan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari yang praktis dan aplikatif. Karena itu, teladan merupakan bahasa yang tepat untuk berbicara kepada masyarakat. Pepatah Arab mengatakan:”Bahasa teladan lebih fasih daripada bahasa lisan”.

Misalnya, dalam masalah ibadah; sebelum kita mengajak masyarakat menegakkan shalat, maka harus dimulai dari diri kita untuk senantiasa menegakkan shalat. Kita mencontohkan rapi dan bersih dalam penampilan, pakaian dan rumah tinggal serta kendaraan. Kita mencontohkan senantiasa memulai berbuat baik kepada tetangga dengan menyapa, silaturahmi, memberi hadiah dan yang sejenisnya.

Allah Ta’ala mengecam manusia yang hanya mau berbicara, tetapi tidak berupaya untuk menerapkan ucapannya sendiri dalam praktek amal keseharian. Firman-Nya:”Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakn apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” (Ash Shaff [61]: 2-3).

Rasulullah Saw berpesan:”Mulailah dari dirimu sendiri!” (HR. An Nasaa’i).


3. Memberi manfaat

Hendaklah kita tidak sekedar mencari keuntungan material dalam berhubungan dengan masyarakat. Segala sesuatu hanya diukur untung-rugi secara ekonomi.

Bila kita berperilaku seperti itu, maka masyarakat akan sulit meraba keikhlasan hati kita dalam bekerja atau dalam berhubungan dengan mereka. Sehingga mereka berhati-hati dalam berhubungan dengan kita, atau bahkan menghindari. Mereka takut menjadi korban materi dalam berhubungan dengan kita.

Sudah semestinya, apabila kita justru berusaha banyak memberi manfaat kepada masyarakat, tanpa terbesit dalam diri kita untuk mendapat ganti; kecuali hanya keridhaan Allah semata. Demikian itulah yang diajarkan Rasulullah SAW dalam hidup bermasyarakat.

Sebelum Muhammad menjadi Nabi, Khadijah RA menceritakan pribadi beliau:”


4. Teguh pendirian

Banyak sekali perilaku masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai Islam. Bahkan seringkali perilaku itu telah mengakar dan membudaya dalam sebuah masyarakat. Misalnya sesaji ke kuburan, sesaji setelah bersih desa, minuman keras saat ada hajatan dan lain-lain.

Tentu saja, kita dilarang untuk ikut-ikutan acara haram tersebut dengan alasan untuk bermasyarakat. Bila kita mempunyai kekuasaan di masyarakat, menjadi perangkat desa misalnya; maka kita dapat mengurangi sedikit demi sedkit tradisi tersebut melalui jalur-jalur kekuasaan. Bika kita berani mengingatkan secara lisan kepada mereka, maka dapat menegurnya. Tetapi, apabila kita tidak mampu melakukan keduanya, cukuplah kita memiliki pendirian yang kuat untuk tidak mengikutinya.

Rasulullah SAW bersabda:”Janganlah kalian menjadi orang yang imma’ah (tidak punya pendirian) yang hanya berkata:”Saya bersama masyarakat. Bila masyarakat baik, maka saya juga baik. Demikian pula, jika masyarakat buruk, saya juga buruk”. Akan tetapi teguhkan pendirianmu, jika masyarakat berbuat baik, maka berbuat baiklah. Dan jika masyarakat melakukan keburukan, maka tinggalkanlah keburukan mereka” (HR. Muslim).


5. Memaklumi jangan minta dimaklumi

Rasulullah SAW telah menunjuk seluruh Kaum Muslimin sebagai pemimpin dengan sabdanya:” Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung-jawaban terhadap apa yang dipimpinnya” (HR. Bukhary).

Dengan hadits itu, berarti seluruh Kaum Muslimin adalah pemimpin baik dalam skala yang luas, yaitu memimpin masyarakatnya; dalam skala sedang, memimpin rumah-tangganya; atau dalam skala kecil, yaitu memimpin dirinya sendiri.

Mental khusus seorang pemimpin adalah responsible (tanggung-jawab) dan sense of belonging (rasa memiliki). Dengan dua setting mental inilah seorang Muslim harus bekerja menghadapi masyarakatnya, karena dari sini tumbuh sikap berusaha memaklumi orang lain dan tidak malah meminta untuk dimaklumi.

Tingkah-polah masyarakat yang berada di sekiling kita, kita respon dengan sikap maklum. Sehingga kita mampu menghadapi mereka dengan tenang, tidak emosi serta menghilangkan dendam kesumat dalam jiwa. Jika mereka mencela kita, menghina kita, mencibir atau yang sejenisnya; cukuplah kita berdo’a sebagaimana Rasulullah SAW berdo’a untuk penduduk Tha’if:”Ya Allah ampunilah mereka, karena mereka orang yang tidak mengetahui” (HR. Bukhary dan INTERAKSI

1. Heterogenitas adalah anugerah Allah

Heterogentitas merupakan anugerah dari Allah Ta’ala, karena Allah telah berfirman:” Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal …” …” (Al Hujuraat [49]: 13).

Sehingga heterogenitas bukanlah sebuah perkara yang harus kita sesali, tetapi justru merupakan hal yang harus kita syukuri. Setiap suku memiliki tradisi dan cara masing-masing; bahkan setiap orang memiliki perilaku masing-masing meskipun mereka adalah suadara kembar. Tidak mungkin semua orang itu baik akhlaqnya serta sehat aqalnya, tetapi ada juga yang rusak moralnya serta kacau aqalnya. Tidak semua orang mudah menerima kebenaran, tidak semua orang berani berjuang di jalan Allah, tidak semua orang terhindar dari kriminalitas dan lain-lainnya.

Semua itu merupakan heterogenitas yang ada di muka bumi,yang harus kita sadari sepenuhnya sebagai anugerah Allah Ta’ala. Sehingga kita tidak mudah sempit dada melihat perbedaan-perbedaan yang tumbuh di antara manusia, atau juga kita tidak cepat merasa putus-asa dengan menjalarnya kemaksiatan dalam tubuh masyarakat kita. Semua itu sudah menjadi hukum alam (sunnatullah) yang memang demikianlah keadaannya.

2. Mengenali obyek da’wah dengan terperinci

Kita harus senantiasa berupaya mengenali obyek da’wah kita dengan teliti. Semakin teliti kita menegnali obyek da’wahkita, semakin tepat kita memberikan therapi kepada mereka, serta semakin kecil tingkat kesalahan kita dalam berhadapan dengan mereka.

Setiap masyarakat memiliki potensi beragam serta tingkat sensitifitas yang berbeda. Permasalahan ini harus kita teliti secara mendalam, sehingga kita dapat menumbuhkan potensi mereka, seiring dengan upaya kita untuk mereduksi perilaku mereka yang negatif.

3. Berbicara sesuai budaya setempat

Setiap kaum memiliki karakter dan tradisi yang berbeda-beda. Dari sisi bahasa, misalnya, setiap kaum memiliki kosa-kata yang bervariasi serta dialek yang beragam. Sesama Bahasa Jawa saja memiliki kosa-kata yang bervariasi serta dialek yang beragam. Antara Bahasa Jawa Timur, Tengah atau Barat terjadi berbagai macam perbedaan. Bahkan antara Bahasa Jawa di Jawa Timur sendiri terdapat berbagai ragam perbedaan. Belum lagi antara Bahasa Jawa dengan bahasa daerah lainnya. Tentu saja terjadi banyak perbedaan. Apalagi antara bahasa nasional dengan bahasa asing.

Seorang da’i akan sangat mudah diterima masyarakat apabila mengenali bahasa mereka dan adat komunikasi antar mereka. Penerimaan secara pribadi ini akan berdampak terhadap penerimaan nilai-nilai yang kita tawarkan kepada mereka, yaitu nilai-nilai Islam. Maka berbicaralah dengan bahasa masyarakat setempat.

Allah Ta’ala telah berfirman:“Kami tidak mengutus seorang Rasul-pun melainkan dengan bahasa kaumnya supaya dia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka …” (Ibrahiim [14]: 4).

4. Berbicara sesuai kadar aqal

Kecerdasan setiap orang tentu saja berbeda, demikian pula dengan kecerdasan rata-rata antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Rasulullah SAW memerintahkan supaya kita berbicara disesuaikan dengan kadar akal masyarakat. Apabila mereka lemah akalnya, maka berbicaralah dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh akal mereka. Sebaliknya, apabila kita berbicara dengan masyarakat yang lebi cerdas, maka kita dapat berdiskusi dengan mereka terhadap berbagai hal.

Rasulullah SAW bersabda:“Kami para Nabi diperintahkan supaya berbicara kepada manusia sesuai dengan kadar akal mereka” (HR. Muslim).

5. Tidak mengumbar janji

Janganlah mudah mengumbar janji kepada masyarakat, karena mereka akan menagih janji kita untuk direalisasikan. Jika kita kemudian memenuhi janji kita, mereka akan menganggap sebagai perkara yang biasa; karena memang janji harus ditepati. Sedangkan bila kita tidak mampu menepati janji, maka masyarakat akan mencemooh kita dan tentu saja kredibilitas kita di hadapan mereka akan jatuh-berantakan.

Lain lagi apabila kita tidak berjanji. Apabila kita tidak melakukannya, masyarakat akan maklum, karena memang kita tidak pernah menjanjikannya. Sebaliknya, jika kita memenuhi sesuatu padahal kita tidak berjanji sebelumnya, masyarakat justru akan salut kepada kita.

Untuk itu, fikirkanlah baik-baik sebelum kita menjanjikan sesuatu kepada masyarakat. Allah Ta’ala juga telah berfirman ketika mencirikan orang yang beriman:”Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janji-janjinya” (Al Mu’minuun [23]: 8)

MUSYAWARAH

Musyawarah merupakan cara penyelesaian masalah di dalam bermasyarakat. Prinsip-prinsip musyawarah alam Islam telah difirmankan Allah Ta’ala:”Maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (Ali Imran [3]: 159).

Dari ayat di atas ada beberapa prinsip musyawarah:

1. Lembut hati

Lembut hati merupakan prinsip pertama di dalam bermusyawarah, terutama untuk pemimpin musyawarah, atau orang yang mempunyai mental pemimpin. Rasulullah SAW bersabda:”Setiap kalian adalah pemimpin” (HR. Bukhary), sehingga kita harus memiliki mental pemimpin pula; yaitu lembut hati dalam berhadapan dengan masyarakat. Terutama sekali ketika bermusyawarah.

Lembut hati tidak semakna dengan tidak memegang prinsip, tidak tegas, pesimis atau rendah diri. Tetapi, lembut hati lebih bertumpu kepada menampilkan segala sesuatu dengan halus, seperti menampilkan ketegasan dengan bahasa yang lembut, mempertahankan prinsip dengan kehalusan dan sejenisnya.

2. Kelembutan hati merupakan rahmat Allah

Kesadaran ini sangat penting, yaitu kelembutan hati itu semata-mata merupakan rahmat Allah ta’ala kepada hamba-Nya; bukan karena kepiawaian seseorang dalam menata hatinya. Perasaan ini penting untuk kita tanamkan dalam diri kita karena:

a. Menghindarkan diri dari rasa sombong dan takabur

b. Menghadirkan kelembutan dengan cara yang disyari’atkan Islam

c. Segala hasilnya dapat kita kembalikan kepada Allah


3. Hindarkan sikap keras dan kasar hati

4. Memaafkan

5. Mendoakan ampun

6. Musyawarah

Ada beberapa prinsip musyawarah:

a. Musyawarah merupakan tempat tertinggi mengambil keputusan

b. Tidak ada musyawarah tandingan yang se-level

c. Habis-habisan dalam musyawarah


7. ‘Azzam ketika tercapai kesepakatan

8. Tawakkal terhadap keputusan bersama


Demikianlah upaya kita dalam hidup bermasyarakat dan ikut berperan-aktif di dalamnya. Semoga Allah Ta’ala memberi kekuatan kepada kita untuk merealisasikannya. Amiin …

___
Sumber: PKS-Anz

Copy paste dari: http://www.hudzaifah.org/Article129.phtml

Berpikir Mendalam

BERPIKIR SECARA MENDALAM

HARUN YAHYA

Banyak yang beranggapan bahwa untuk "berpikir secara mendalam", seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak tangannya, dan menyendiri di sebuah ruangan yang sunyi, jauh dari keramaian dan segala urusan yang ada. Sungguh, mereka telah menganggap "berpikir secara mendalam" sebagai sesuatu yang memberatkan dan menyusahkan. Mereka berkesimpulan bahwa pekerjaan ini hanyalah untuk kalangan "filosof".

Padahal, sebagaimana telah disebutkan dalam pendahuluan, Allah mewajibkan manusia untuk berpikir secara mendalam atau merenung. Allah berfirman bahwa Al-Qur'an diturunkan kepada manusia untuk dipikirkan atau direnungkan:

"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan (merenungkan) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran" (QS. Shaad, 38: 29).

Yang ditekankan di sini adalah bahwa setiap orang hendaknya berusaha secara ikhlas sekuat tenaga dalam meningkatkan kemampuan dan kedalaman berpikir.

Sebaliknya, orang-orang yang tidak mau berusaha untuk berpikir mendalam akan terus-menerus hidup dalam kelalaian yang sangat. Kata kelalaian mengandung arti

"ketidakpedulian (tetapi bukan melupakan), meninggalkan, dalam kekeliruan, tidak menghiraukan, dalam kecerobohan". Kelalaian manusia yang tidak berpikir adalah akibat melupakan atau secara sengaja tidak menghiraukan tujuan penciptaan diri mereka serta kebenaran ajaran agama. Ini adalah jalan hidup yang sangat berbahaya yang dapat menghantarkan seseorang ke neraka. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah memperingatkan manusia agar tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang lalai:

"Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." (QS. Al-A'raaf, 7: 205)

"Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika segala perkara telah diputus. Dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak (pula) beriman." (QS. Maryam, 19: 39)

Dalam Al-Qur'an, Allah menyebutkan tentang mereka yang berpikir secara sadar, kemudian merenung dan pada akhirnya sampai kepada kebenaran yang menjadikan mereka takut kepada Allah. Sebaliknya, Allah juga menyatakan bahwa orang-orang yang mengikuti para pendahulu mereka secara taklid buta tanpa berpikir, ataupun hanya sekedar mengikuti kebiasaan yang ada, berada dalam kekeliruan. Ketika ditanya, para pengekor yang tidak mau berpikir tersebut akan menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan agama dan beriman kepada Allah. Tetapi karena tidak berpikir, mereka sekedar melakukan ibadah dan aktifitas hidup tanpa disertai rasa takut kepada Allah. Mentalitas golongan ini sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur'an:

Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?"

Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak ingat?"

Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya 'Arsy yang besar?"

Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak bertakwa?"

Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?"

Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu (disihir)?"

"Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta." (QS. Al-Mu'minuun, 23: 84-90)

Berpikir dapat membebaskan seseorang dari belenggu sihir

Dalam ayat di atas, Allah bertanya kepada manusia, "…maka dari jalan manakah kamu ditipu (disihir)?. Kata disihir atau tersihir di sini mempunyai makna kelumpuhan mental atau akal yang menguasai manusia secara menyeluruh. Akal yang tidak digunakan untuk berpikir berarti bahwa akal tersebut telah lumpuh, penglihatan menjadi kabur, berperilaku sebagaimana seseorang yang tidak melihat kenyataan di depan matanya, sarana yang dimiliki untuk membedakan yang benar dari yang salah menjadi lemah. Ia tidak mampu memahami sebuah kebenaran yang sederhana sekalipun. Ia tidak dapat membangkitkan kesadarannya untuk memahami peristiwa-peristiwa luar biasa yang terjadi di sekitarnya. Ia tidak mampu melihat bagian-bagian rumit dari peristiwa-peristiwa yang ada. Apa yang menyebabkan masyarakat secara keseluruhan tenggelam dalam kehidupan yang melalaikan selama ribuan tahun serta menjauhkan diri dari berpikir sehingga seolah-olah telah menjadi sebuah tradisi adalah kelumpuhan akal ini.

Pengaruh sihir yang bersifat kolektif tersebut dapat dikiaskan sebagaimana berikut:

Dibawah permukaan bumi terdapat sebuah lapisan mendidih yang dinamakan magma, padahal kerak bumi sangatlah tipis. Tebal lapisan kerak bumi dibandingkan keseluruhan bumi adalah sebagaimana tebal kulit apel dibandingkan buah apel itu sendiri. Ini berarti bahwa magma yang membara tersebut demikian dekatnya dengan kita, dibawah telapak kaki kita!

Setiap orang mengetahui bahwa di bawah permukaan bumi ada lapisan yang mendidih dengan suhu yang sangat panas, tetapi manusia tidak terlalu memikirkannya. Hal ini dikarenakan para orang tua, sanak saudara, kerabat, teman, tetangga, penulis artikel di koran yang mereka baca, produser acara-acara TV dan professor mereka di universitas tidak juga memikirkannya.

Ijinkanlah kami mengajak anda berpikir sebentar tentang masalah ini. Anggaplah seseorang yang telah kehilangan ingatan berusaha untuk mengenal sekelilingnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada setiap orang di sekitarnya. Pertama-tama ia menanyakan tempat dimana ia berada. Apakah kira-kira yang akan muncul di benaknya apabila diberitahukan bahwa di bawah tempat dia berdiri terdapat sebuah bola api mendidih yang dapat memancar dan berhamburan dari permukaan bumi pada saat terjadi gempa yang hebat atau gunung meletus? Mari kita berbicara lebih jauh dan anggaplah orang ini telah diberitahu bahwa bumi tempat ia berada hanyalah sebuah planet kecil yang mengapung dalam ruang yang sangat luas, gelap dan hampa yang disebut ruang angkasa. Ruang angkasa ini memiliki potensi bahaya yang lebih besar dibandingkan materi bumi tersebut, misalnya: meteor-meteor dengan berat berton-ton yang bergerak dengan leluasa di dalamnya. Bukan tidak mungkin meteor-meteor tersebut bergerak ke arah bumi dan kemudian menabraknya.

Mustahil orang ini mampu untuk tidak berpikir sedetikpun ketika berada di tempat yang penuh dengan bahaya yang setiap saat mengancam jiwanya. Ia pun akan berpikir pula bagaimana mungkin manusia dapat hidup dalam sebuah planet yang sebenarnya senantiasa berada di ujung tanduk, sangat rapuh dan membahayakan nyawanya. Ia lalu sadar bahwa kondisi ini hanya terjadi karena adanya sebuah sistim yang sempurna tanpa cacat sedikitpun. Kendatipun bumi, tempat ia tinggal, memiliki bahaya yang luar biasa besarnya, namun padanya terdapat sistim keseimbangan yang sangat akurat yang mampu mencegah bahaya tersebut agar tidak menimpa manusia. Seseorang yang menyadari hal ini, memahami bahwa bumi dan segala makhluk di atasnya dapat melangsungkan kehidupan dengan selamat hanya dengan kehendak Allah, disebabkan oleh adanya keseimbangan alam yang sempurna dan tanpa cacat yang diciptakan-Nya.

Contoh di atas hanyalah satu diantara jutaan, atau bahkan trilyunan contoh-contoh yang hendaknya direnungkan oleh manusia. Di bawah ini satu lagi contoh yang mudah-mudahan membantu dalam memahami bagaimana "kondisi lalai" dapat mempengaruhi sarana berpikir manusia dan melumpuhkan kemampuan akalnya.

Manusia mengetahui bahwa kehidupan di dunia berlalu dan berakhir sangat cepat. Anehnya, masih saja mereka bertingkah laku seolah-olah mereka tidak akan pernah meninggalkan dunia. Mereka melakukan pekerjaan seakan-akan di dunia tidak ada kematian. Sungguh, ini adalah sebuah bentuk sihir atau mantra yang terwariskan secara turun-temurun. Keadaan ini berpengaruh sedemikian besarnya sehingga ketika ada yang berbicara tentang kematian, orang-orang dengan segera menghentikan topik tersebut karena takut kehilangan sihir yang selama ini membelenggu mereka dan tidak berani menghadapi kenyataan tersebut. Orang yang mengabiskan seluruh hidupnya untuk membeli rumah yang bagus, penginapan musim panas, mobil dan kemudian menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah yang bagus, tidak ingin berpikir bahwa pada suatu hari mereka akan mati dan tidak akan dapat membawa mobil, rumah, ataupun anak-anak beserta mereka. Akibatnya, daripada melakukan sesuatu untuk kehidupan yang hakiki setelah mati, mereka memilih untuk tidak berpikir tentang kematian.

Namun, cepat atau lambat setiap manusia pasti akan menemui ajalnya. Setelah itu, percaya atau tidak, setiap orang akan memulai sebuah kehidupan yang kekal. Apakah kehidupannya yang abadi tersebut berlangsung di surga atau di neraka, tergantung dari amal perbuatan selama hidupnya yang singkat di dunia. Karena hal ini adalah sebuah kebenaran yang pasti akan terjadi, maka satu-satunya alasan mengapa manusia bertingkah laku seolah-olah mati itu tidak ada adalah sihir yang telah menutup atau membelenggu mereka akibat tidak berpikir dan merenung.

Orang-orang yang tidak dapat membebaskan diri mereka dari sihir dengan cara berpikir, yang mengakibatkan mereka berada dalam kelalaian, akan melihat kebenaran dengan mata kepala mereka sendiri setelah mereka mati, sebagaimana yang diberitakan Allah kepada kita dalam Al-Qur'an :

"Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam." (QS. Qaaf, 50: 22)

Dalam ayat di atas penglihatan seseorang menjadi kabur akibat tidak mau berpikir, akan tetapi penglihatannya menjadi tajam setelah ia dibangkitkan dari alam kubur dan ketika mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya di akhirat.

Perlu digaris bawahi bahwa manusia mungkin saja membiarkan dirinya secara sengaja untuk dibelenggu oleh sihir tersebut. Mereka beranggapan bahwa dengan melakukan hal ini mereka akan hidup dengan tentram. Syukurlah bahwa ternyata sangat mudah bagi seseorang untuk merubah kondisi yang demikian serta melenyapkan kelumpuhan mental atau akalnya, sehingga ia dapat hidup dalam kesadaran untuk mengetahui kenyataan. Allah telah memberikan jalan keluar kepada manusia; manusia yang merenung dan berpikir akan mampu melepaskan diri dari belenggu sihir pada saat mereka masih di dunia. Selanjutnya, ia akan memahami tujuan dan makna yang hakiki dari segala peristiwa yang ada. Ia pun akan mampu memahami kebijaksanaan dari apapun yang Allah ciptakan setiap saat.

Seseorang dapat berpikir kapanpun dan dimanapun

Berpikir tidaklah memerlukan waktu, tempat ataupun kondisi khusus. Seseorang dapat berpikir sambil berjalan di jalan raya, ketika pergi ke kantor, mengemudi mobil, bekerja di depan komputer, menghadiri pertemuan dengan rekan-rekan, melihat TV ataupun ketika sedang makan siang.

Misalnya: di saat sedang mengemudi mobil, seseorang melihat ratusan orang berada di luar. Ketika menyaksikan mereka, ia terdorong untuk berpikir tentang berbagai macam hal. Dalam benaknya tergambar penampilan fisik dari ratusan orang yang sedang disaksikannya yang sama sekali berbeda satu sama lain. Tak satupun diantara mereka yang mirip dengan yang lain. Sungguh menakjubkan: kendatipun orang-orang ini memiliki anggota tubuh yang sama, misalnya sama-sama mempunyai mata, alis, bulu mata, tangan, lengan, kaki, mulut dan hidung; tetapi mereka terlihat sangat berbeda satu sama lain. Ketika berpikir sedikit mendalam, ia akan teringat bahwa:

Allah telah menciptakan bilyunan manusia selama ribuan tahun, semuanya berbeda satu dengan yang lain. Ini adalah bukti nyata tentang ke Maha Perkasaan dan ke Maha Besaran Allah.

Menyaksikan manusia yang sedang lalu lalang dan bergegas menuju tempat tujuan mereka masing-masing, dapat memunculkan beragam pikiran di benak seseorang. Ketika pertama kali memandang, muncul di pikirannya: manusia yang jumlahnya banyak ini terdiri atas individu-individu yang khas dan unik. Tiap individu memiliki dunia, keinginan, rencana, cara hidup, hal-hal yang membuatnya bahagia atau sedih, serta perasaannya sendiri. Secara umum, setiap manusia dilahirkan, tumbuh besar dan dewasa, mendapatkan pendidikan, mencari pekerjaan, bekerja, menikah, mempunyai anak, menyekolahkan dan menikahkan anak-anaknya, menjadi tua, menjadi nenek atau kakek dan pada akhirnya meninggal dunia. Dilihat dari sudut pandang ini, ternyata perjalanan hidup semua manusia tidaklah jauh berbeda; tidak terlalu penting apakah ia hidup di perkampungan di kota Istanbul atau di kota besar seperti Mexico, tidak ada bedanya sedikitpun. Semua orang suatu saat pasti akan mati, seratus tahun lagi mungkin tak satupun dari orang-orang tersebut yang akan masih hidup. Menyadari kenyataan ini, seseorang akan berpikir dan bertanya kepada dirinya sendiri: "Jika kita semua suatu hari akan mati, lalu apakah gerangan yang menyebabkan manusia bertingkah laku seakan-akan mereka tak akan pernah meninggalkan dunia ini? Seseorang yang akan mati sudah sepatutnya beramal secara sungguh-sungguh untuk kehidupannya setelah mati; tetapi mengapa hampir semua manusia berkelakuan seolah-olah hidup mereka di dunia tak akan pernah berakhir?"

Orang yang memikirkan hal-hal semacam ini lah yang dinamakan orang yang berpikir dan mencapai kesimpulan yang sangat bermakna dari apa yang ia pikirkan.

Sebagian besar manusia tidak berpikir tentang masalah kematian dan apa yang terjadi setelahnya. Ketika mendadak ditanya,"Apakah yang sedang anda pikirkan saat ini?", maka akan terlihat bahwa mereka sedang memikirkan segala sesuatu yang sebenarnya tidak perlu untuk dipikirkan, sehingga tidak akan banyak manfaatnya bagi mereka. Namun, seseorang bisa juga "berpikir" hal-hal yang "bermakna", "penuh hikmah" dan "penting" setiap saat semenjak bangun tidur hingga kembali ke tempat tidur, dan mengambil pelajaran ataupun kesimpulan dari apa yang dipikirkannya.

Dalam Al-Qur'an, Allah menyatakan bahwa orang-orang yang beriman memikirkan dan merenungkan secara mendalam segala kejadian yang ada dan mengambil pelajaran yang berguna dari apa yang mereka pikirkan.

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Aali 'Imraan, 3: 190-191).

Ayat di atas menyatakan bahwa oleh karena orang-orang yang beriman adalah mereka yang berpikir, maka mereka mampu melihat hal-hal yang menakjubkan dari ciptaan Allah dan mengagungkan Kebesaran, Ilmu serta Kebijaksanaan Allah.

Berpikir dengan ikhlas sambil menghadapkan diri kepada Allah

Agar sebuah perenungan menghasilkan manfaat dan seterusnya menghantarkan kepada sebuah kesimpulan yang benar, maka seseorang harus berpikir positif. Misalnya: seseorang melihat orang lain dengan penampilan fisik yang lebih baik dari dirinya. Ia lalu merasa dirinya rendah karena kekurangan yang ada pada fisiknya dibandingkan dengan orang tersebut yang tampak lebih rupawan. Atau ia merasa iri terhadap orang tersebut. Ini adalah pikiran yang tidak dikehendaki Allah. Jika ridha Allah yang dicari, maka seharusnya ia menganggap bagusnya bentuk rupa orang yang ia lihat sebagai wujud dari ciptaan Allah yang sempurna. Dengan melihat orang yang rupawan sebagai sebuah keindahan yang Allah ciptakan akan memberikannya kepuasan. Ia berdoa kepada Allah agar menambah keindahan orang tersebut di akhirat. Sedang untuk dirinya sendiri, ia juga meminta kepada Allah agar dikaruniai keindahan yang hakiki dan abadi di akhirat kelak. Hal serupa seringkali dialami oleh seorang hamba yang sedang diuji oleh Allah untuk mengetahui apakah dalam ujian tersebut ia menunjukkan perilaku serta pola pikir yang baik yang diridhai Allah atau sebaliknya.
Keberhasilan dalam menempuh ujian tersebut, yakni dalam melakukan perenungan ataupun proses berpikir yang mendatangkan kebahagiaan di akhirat, masih ditentukan oleh kemauannya dalam mengambil pelajaran atau peringatan dari apa yang ia renungkan. Karena itu, sangatlah ditekankan disini bahwa seseorang hendaknya selalu berpikir secara ikhlas sambil menghadapkan diri kepada Allah. Allah berfirman dalam Al-Qur'an :

"Dia lah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)-Nya dan menurunkan untukmu rezki dari langit. Dan tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah)." (QS. Ghaafir, 40: 13)


DIAMBIL DARI "BAGAIMANA SEORANG MUSLIM BERPIKIR?"
KARYA HARUN YAHYA, ROBBANI PRESS, INDONESIA, 2000

Copy paste dari: http://www.harunyahya.com/indo/artikel/001.htm

Berpikirlah Sejak Bangun Tidur

Berpikirlah Sejak Anda Bangun Tidur

HARUN YAHYA

Tidak diperlukan kondisi khusus bagi seseorang untuk memulai berpikir. Bahkan bagi orang yang baru saja bangun tidur di pagi hari pun terdapat banyak sekali hal-hal yang dapat mendorongnya berpikir.

Terpampang sebuah hari yang panjang dihadapan seseorang yang baru saja bangun dari pembaringannya di pagi hari. Sebuah hari dimana rasa capai atau kantuk seakan telah sirna. Ia siap untuk memulai harinya. Ketika berpikir akan hal ini, ia teringat sebuah firman Allah:

"Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha." (QS. Al-Furqaan, 25: 47)

Setelah membasuh muka dan mandi, ia merasa benar-benar terjaga dan berada dalam kesadarannya secara penuh. Sekarang ia siap untuk berpikir tentang berbagai persoalan yang bermanfaat untuknya. Banyak hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan dari sekedar memikirkan makanan apa yang dipunyainya untuk sarapan pagi atau pukul berapa ia harus berangkat dari rumah. Dan pertama kali ia harus memikirkan tentang hal yang lebih penting ini.

Pertama-tama, bagaimana ia mampu bangun di pagi hari adalah sebuah keajaiban yang luar biasa. Kendatipun telah kehilangan kesadaran sama sekali sewaktu tidur, namun di keesokan harinya ia kembali lagi kepada kesadaran dan kepribadiannya. Jantungnya berdetak, ia dapat bernapas, berbicara dan melihat. Padahal di saat ia pergi tidur, tidak ada jaminan bahwa semua hal ini akan kembali seperti sediakala di pagi harinya. Tidak pula ia mengalami musibah apapun malam itu. Misalnya, kealpaan tetangga yang tinggal di sebelah rumah dapat menyebabkan kebocoran gas yang dapat meledak dan membangunkannya malam itu. Sebuah bencana alam yang dapat merenggut nyawanya dapat saja terjadi di daerah tempat tinggalnya.

Ia mungkin saja mengalami masalah dengan fisiknya. Sebagai contoh, bisa saja ia bangun tidur dengan rasa sakit yang luar biasa pada ginjal atau kepalanya. Namun tak satupun ini terjadi dan ia bangun tidur dalam keadaan selamat dan sehat. Memikirkan yang demikian mendorongnya untuk berterima kasih kepada Allah atas kasih sayang dan penjagaan yang diberikan-Nya.

Memulai hari yang baru dengan kesehatan yang prima memiliki makna bahwa Allah kembali memberikan seseorang sebuah kesempatan yang dapat dipergunakannya untuk mendapatkan keberuntungan yang lebih baik di akhirat. Ingat akan semua ini, maka sikap yang paling sesuai adalah menghabiskan waktu di hari itu dengan cara yang diridhai Allah.

Sebelum segala sesuatu yang lain, seseorang pertama kali hendaknya merencanakan dan sibuk memikirkan hal-hal semacam ini. Titik awal dalam mendapatkan keridhaan Allah adalah dengan memohon kepada Allah agar memudahkannya dalam mengatasi masalah ini. Doa Nabi Sulaiman adalah tauladan yang baik bagi orang-orang yang beriman: "Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri ni'mat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh" (QS. An-Naml, 27 : 19)

Bagaimana kelemahan manusia mendorong seseorang untuk berpikir?Tubuh manusia yang demikian lemah ketika baru saja bangun dari tidur dapat mendorong manusia untuk berpikir: setiap pagi ia harus membasuh muka dan menggosok gigi. Sadar akan hal ini, ia pun merenungkan tentang kelemahan-kelemahannya yang lain. Keharusannya untuk mandi setiap hari, penampilannya yang akan terlihat mengerikan jika tubuhnya tidak ditutupi oleh kulit ari, dan ketidakmampuannya menahan rasa kantuk, lapar dan dahaga, semuanya adalah bukti-bukti tentang kelemahan dirinya.

"Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa." (QS. Ar-Ruum, 30: 54)

Bagi orang yang telah berusia lanjut, bayangan dirinya di dalam cermin dapat memunculkan beragam pikiran dalam benaknya. Ketika menginjak usia dua dekade dari masa hidupnya, tanda-tanda proses penuaan telah terlihat di wajahya. Di usia yang ketigapuluhan, lipatan-lipatan kulit mulai kelihatan di bawah kelopak mata dan di sekitar mulutnya, kulitnya tidak lagi mulus sebagaimana sebelumnya, perubahan bentuk fisik terlihat di sebagian besar tubuhnya. Ketika memasuki usia yang semakin senja, rambutnya memutih dan tangannya menjadi rapuh.


Bagi orang yang berpikir tentang hal ini, usia senja adalah peristiwa yang paling nyata yang menunjukkan sifat fana dari kehidupan dunia dan mencegahnya dari kecintaan dan kerakusan akan dunia. Orang yang memasuki usia tua memahami bahwa detik-detik menuju kematian telah dekat. Jasadnya mengalami proses penuaan dan sedang dalam proses meninggalkan dunia ini. Tubuhnya sedikit demi sedikit mulai melemah kendatipun ruhnya tidaklah berubah menjadi tua. Sebagian besar manusia sangat terpukau oleh ketampanan atau merasa rendah dikarenakan keburukan wajah mereka semasa masih muda.


Pada umumnya, manusia yang dahulunya berwajah tampan ataupun cantik bersikap arogan, sebaliknya yang di masa lalu berwajah tidak menarik merasa rendah diri dan tidak bahagia. Proses penuaan adalah bukti nyata yang menunjukkan sifat sementara dari kecantikan atau keburukan penampilan seseorang. Sehingga dapat diterima dan masuk akal jika yang dinilai dan dibalas oleh Allah adalah akhlaq baik beserta komitmen yang diperlihatkan seseorang kepada Allah.

Setiap saat ketika menghadapi segala kelemahannya manusia berpikir bahwa satu-satunya Zat Yang Maha Sempurna dan Maha Besar serta jauh dari segala ketidaksempurnaan adalah Allah, dan iapun mengagungkan kebesaran Allah. Allah menciptakan setiap kelemahan manusia dengan sebuah tujuan ataupun makna. Termasuk dalam tujuan ini adalah agar manusia tidak terlalu cinta kepada kehidupan dunia, dan tidak terpedaya dengan segala yang mereka punyai dalam kehidupan dunia. Seseorang yang mampu memahami hal ini dengan berpikir akan mendambakan agar Allah menciptakan dirinya di akhirat kelak bebas dari segala kelemahan.

Segala kelemahan manusia mengingatkan akan satu hal yang menarik untuk direnungkan: tanaman mawar yang muncul dan tumbuh dari tanah yang hitam ternyata memiliki bau yang demikian harum. Sebaliknya, bau yang sangat tidak sedap muncul dari orang yang tidak merawat tubuhnya. Khususnya bagi mereka yang sombong dan membanggakan diri, ini adalah sesuatu yang seharusnya mereka pikirkan dan ambil pelajaran darinya.


DIAMBIL DARI

"BAGAIMANA SEORANG MUSLIM BERPIKIR?"
KARYA HARUN YAHYA,

ROBBANI PRESS, INDONESIA, 2000

Copy paste dari: http://www.harunyahya.com/indo/artikel/002.htm

Reformasi Moral

Hikmah

Oleh Asep Sulhadi

Reformasi Moral

Allah SWT dalam beberapa firman-Nya menyebutkan di antara sebab-sebab yang memengaruhi kejayaan dan kehancuran kehidupan kita adalah perilaku moral kita. Dalam surat Al-A’raf (7) ayat 96, Allah SWT menegaskan akan melimpahkan keberkahan dari langit dan bumi kepada perilaku bangsa yang beriman dan bertaqwa, “Jikalau sekiranya penduduk nenegri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi”.

Dalam surat Maryam (19) ayat 59, Allah SWT juga menyebutkan sebab hancurnya sebuah generasi adalah karena mereka melalaikan shalat dan mengikuti hawa nafsu, “Maka dtanglah sesudah mereka, penggantian (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan”.

Begitu juga dalam surat Al-Anfal ayat 53-54 dimana Allah SWT mencabut anugerah kenikmatan suatu bangsa karena bangsa tersebut sudah menjadi seperti Fir’aun, “(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang sebelumnya. Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya, maka Kami membinasakan mereka disebabkan dosa-dosanya, dan kami tenggelamkan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya dan kesemuanya adalah orang-orang yang dzalim” (QS Al-Anfal [8]: 53-54).

Bangsa kita, sekarang sedang dilanda berbagai musibah dan krisis yang tiada henti. Padahal, dulunya bangsa ini adalah bangsa yang makmur, gemah ripah loh jinawi. Bisa jadi salah satu factor yang menyebabkan kemerosotan dan kemunduran bangsa ini adalah karena moral kita yang sudah tidak sesuai dengan tuntunan ajaran agama. Kita sudah tidak mempedulikan perintah dan larangan agama. Kita sudah menjadi budak hawa nafsu yang siap melakukan apa saja demi mengejar dunia dan popularitas.

Kiranya, sudah saatnya bagi kita untuk mengubah berbagai musibah menjadi kenikmatan. Mari kita jadikan tahun baru 2008 sebagai momentum untuk berubah. (Dikutip dari REPUBLIKA - Rabu, 26 Desember 2007 – 16 Dzulhijjah 1428 H).

Bergerak Dinamis

Koran » Hikmah – Koran REPUBLIKA

Kamis, 19 Maret 2009 pukul 23:49:00

Bergerak Dinamis

Oleh Muhammad Ali Wafa

Kehidupan manusia ditandai dengan detak jantungnya. Kehidupan akan dinyatakan berakhir ketika seluruh mesin tubuh, detak jantung, dan otak berhenti bekerja. Status kehidupan pun berakhir karena telah divonis dengan kematian.
Seperti itulah Allah SWT menciptakan gerakan sebagai tanda kehidupan, dan diam adalah tanda kematian. ''Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri.'' (QS Alkahfi [18]: 18).
Firman Allah SWT ini menyatakan tanda-tanda kehidupan penghuni gua Kahfi adalah dengan gerakannya ke kanan dan ke kiri. Sedangkan orang yang mati, tubuhnya tidak bergerak sama sekali.
Allah SWT menawarkan dua pilihan terhadap manusia dengan ciri yang berbeda antara keduanya. Pertama, bergerak. Pergerakan menjadi suatu yang mutlak bagi manusia untuk bisa menjadi orang yang sukses, baik di dunia maupun akhirat. Tanpa bergerak mustahil manusia bisa menggapainya.
Kedua, diam. Berdiam diri merupakan suatu tanda kegagalan yang dapat berakibat penyesalan dan kerugian manusia dalam menjalani kehidupan di dunia. Betapa sering kita lihat orang yang gagal adalah karena banyak diamnya. Cenderung malas berusaha dan tidak bekerja keras menjadi ciri dari orang yang diam.
Sebagaimana air menggenang yang tidak mengalir, adalah air yang kotor dan jentik-jentik pun berkembang biak. Allah SWT memberikan sifat pergerakan air sungai yang ada di dalam surga dengan sebutan mengalir yang tiada berubah rasa dan baunya, seperti termaktub dalam firman-Nya.
''Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, bahwa untuk mereka (disediakan) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.'' (QS Albaqarah [2]: 25).
Ayat di atas menjelaskan bahwa surga tidak dapat dicapai kecuali dengan beriman, berbuat kebajikan, dan bertakwa kepada Allah SWT. Beriman berarti meyakini dalam hati, mengucapkannya dengan lisan, dan merealisasikannya dalam perbuatan. Sedangkan berbuat kebajikan adalah mengerjakan amal-amal saleh, di mana ibadah menjadi salah satu caranya.
Sementara takwa memiliki arti takut kepada Allah SWT, dengan syarat mengerjakan segala perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Ketiga cara untuk menggapai surga tersebut, harus teraplikasi dengan adanya pergerakan yang dinamis dan konsisten. Karena pergerakan tersebut, Allah SWT menyediakan surga untuk hamba-Nya.
Demikianlah, gerak dinamis adalah hidup dan kehidupan. Adapun diam statis adalah mati dan kematian. Karena itu, bergerak dinamis berarti sesuatu yang terpuji, sementara diam statis perlu dihindari.

Nasihat Ibnu Abbas

Hikmah

Oleh Rifqi Fauzi

Nasihat Ibnu Abbas

Salah satu sahabat kesayangan Nabi SAW adalah Ibnu Abbas. Sejak kecil dia sudah sangat dekat dengan Nabi SAW, sehingga Nabi SAW sangat mencintai dia dan mendoakannya untuk menjadi seorang yang faqih dalam masalah agama. Hasil dari doa tersebut, dia menjadi seorang sahabat yang ahli dalam Ilmu Tafsir, fiqih, dan tercatat sebagai sahabat kelima yang paling banyak meriwayatkan hadits setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Aisyah.

Dari sekian banyak nasihat yang beliau tuangkan dalam beberapa atsar-nya, ada empat nasihat sekaligus amalan yang paling dicintai oleh beliau, sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Umar Abdul Al-Kafi dalam bukunya Afaatu al-Lisaan. Di antara nasihat-nasihat itu adalah, pertama, supaya Umat Islam senantiasa berkata dalam hal yang bermanfaat, sehingga dengan keterjagaan lisannya, setiap ucapan yang keluar dari mulut mengandung hikmah dan ilmu yang bermanfaat.

Kedua, selain berkata dalam hal-hal yang bermanfaat, dia juga menekankan untuk bertutur kata yang baik dan sopan dan melarang untuk berbantah-bantahan dengan cara dan bahasa yang kasar. Hal ini sejalan dengan syarat berdakwah yang baik, sebagaimana firman Allah, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. An-Nahl [16]: 125).

Ketiga, meminta kepada keluarga atau teman terdekat untuk selalu mengingatkan kita jika terdapat kesalahan dan kelakuan yang tidak mereka sukai. Begitupun dia menasihatkan untuk selalu gampang memaafkan kesalahan seseorang. Dengan saling mengoreksi dan gampang memaafkan, kita akan senantiasa sukses menjalin kekerabatan dengan siapapun.

Keempat, hendaklah bergaul dengan sesama dengan kelakuan yang baik dan yang mereka sukai, sebagaimana diri kita sendiri ingin digauli oleh orang lain dengan kelakuan yang baik dan yang kita sukai. Saling menghormati, mencintai, kelembutan, dan kesopanan merupakan fitrah yang paling dicintai oleh semua manusia.

Keempat amalan di atas merupakan kunci sukses Ibnu Abbas menjadi ulama yang sangat berpengaruh baik di kalangan sahabat ataupun bagi Umat Islam pada umumnya. Selain itu dia juga menjadi seorang yang dicintai banyak orang. (Dikutip dari REPUBLIKA - Senin, 17 Desember 2007 – 7 Dzulhijjah 1428 H)