Jumat, 22 Maret 2013

JALAN MENUJU SUMBER KEHIDUPAN SEJATI



Jalan Menuju Sumber Kehidupan Sejati

Syariat adalah jalan menuju sumber air kehidupan. Ia adalah jalan umum, jalan yang ditempuh secara bersama-sama oleh suatu komunitas. Namun, semakin dekat dengan sumber air itu, jalannya semakin sempit. Jalan yang hanya cukup dilalui oleh dirinya. Jalan inilah yang disebut “tarekat” [thariqah].

Kalau digambarkan hubungan antara syariat dan tarekat, dapat diumpamakan seseorang yang mau nonton film di gedung bioskop. Ada syarat umum yang berlaku bagi yang ingin menonton. Pertama, umur yang akan menonton, yang dalam bahasa agama ia harus sudah akil-balig [sudah cukup umur dan berakal sehat]. Kedua, orang tersebut harus punya karcis atau undangan menonton. Bila yang akan menonton itu tidak diatur, maka mereka akan berebut beli karcisnya, atau berebut masuk gedung pertunjukannya. Nah, antre agar bisa beli karcis dan masuk satu per satu dapat dium-pamakan sebagai tarekat.

Dari syariat ke tarekat tidaklah terputus begitu saja. Kedua jalan ini bersam-bungan, dari jalan yang lebar kemudian menuju jalan yang lebih sempit. From the road of life to the path of life. Dari jalan di luar diri menuju jalan di dalam diri. Dari jalan raya masuk ke gang di mana rumah “Diri Sejati” berada. Yaa, sebenarnya kita ini seperti orang-orang yang hendak pulang ke masing-masing rumahnya. Karena rumah itu ada di dalam RT/RW yang sama, maka mula-mula kita berjalan di atas jalan raya yang sama, dan selanjutnya berpisah menuju gang-gang yang berbeda, akhirnya masuk ke rumahnya sendiri-sendiri. Di rumah itulah Allah menyambut manusia secara perorangan. Seperti yang dinyatakan dalam surat Maryam/19 : 93, 95,
  • 93. In kullu man fi s-samawati wa l-ardhi illa ati r-rahmani ‘abda.
  • 95. Wa kullu hum atihi yauma l-qiyamati farda.
  • 93. Sungguh setiap diri, baik yang ada di langit maupun di bumi, akan datang kepada Yang Maha Pemurah sebagai seorang hamba.
  • 95. Dan, setiap diri datang kepada-Nya pada hari kebangkitan sendirian.

Jadi, meskipun di dalam syariat kita melakukan peribadatan yang sama, seperti shalat berjamaah, puasa Ramadhan, dan ibadah Haji, tetapi jalan kepada-Nya betul-betul kita tempuh sendirian. Syariatnya sama, tetapi tarekatnya berbeda. Karena tarekat itu harus pas dengan orang yang menempuhnya. Tarekat harus mengarah dengan tepat letak rumah yang dituju. Jika diumpamakan dengan orang yang akan menonton film, kita ada di antrean yang sama, tetapi uang yang kita gunakan untuk membayarnya atau nomor tempat duduknya berbeda sesuai dengan kenyamanan diri kita masing-masing. Yang dituntut dalam syariat adalah keseragaman, sedangkan yang dituntut dalam tarekat adalah keunikan.

Kembali kepada perumpamaan di atas, setelah orang duduk dan menyaksikan filmnya, maka penghayatan terhadap film itu pun berbeda-beda tergantung pada latar belakang sang penonton, yaitu budaya, pengalaman, pengetahuan, dan kedalaman rasa yang dimilikinya. Begitu pula ketika kita kembali kepada Tuhan, setiap orang akan melihat filmnya sendiri. Penghayatan terhadap filmnya sendiri itu tergantung pada amaliah, kebersihan dan kesucian batin yang bersangkutan. Dan, pada saat dia menyadari filmnya, berarti dia sudah ada di tahap hakekat. Tahap bangkitnya ke-sadaran diri. Tahap “yaum al-qiyamah”! Bila dia sudah hidup di alam “qiyamah” maka dia sudah hidup di “maqam makrifat”. Dia senantiasa tercerahkan! Dia tidak hidup lagi tergantung pada orang lain, tidak terkolonisasi, hidup merdeka. Bahkan dia telah menjadi gantungan bagi orang-orang lainnya.

Dengan demikian, tasawuf sebenarnya mendidik orang untuk hidup mandiri, hidup merdeka, hidup yang setara dengan orang lain. Hidup menjadi sufi sebenarnya adalah hidup yang sepenuhnya menggantungkan diri kepada Yang Ilahi. Yang dengan kata lain, disebut “hidup tawakal” atau “tawakkul”. Sebelum kita bisa hidup hanya dengan menggantungkan diri kepada Tuhan, berarti kita belum hidup dalam makrifat, meskipun secara teoritis kita sudah mempelajarinya. Tetapi belajar adalah cara untuk mencapainya! Jadi, tidak perlu pesimis bila hari ini kita masih dalam perjalanan untuk memperoleh “tirta prawitasari” atau sari dari air suci, esensi kehidupan.

Orang yang mampu melihat hakikat dirinya disebut “insan kamil” alias manusia sempurna. Manusia yang merupakan wujud dari makrokosmos dan mikrokosmos. Dia adalah miniatur dari Yang Haq, wujud mini dari Tuhan Yang Mahaesa. Nah, perjalanan kita untuk menjadi miniatur-Nya adalah perjalanan kembali kepada-Nya. Orang yang sadar bahwa dirinya dalam hidup ini sesungguhnya kembali kepada Tuhan, adalah orang yang sadar bahwa dirinya menyongsong “yaum al-qiyamah”. Banyak orang yang mengira bahwa kebangkitan itu terjadi setelah hancur-leburnya bumi atau semesta alam. Lalu, timbullah ilusi dan khayalan tentang kiamat. Akhirnya, muncullah perilaku yang aneh-aneh. Terjebak di perjalanan! Formalisme!

Kiamat sebenarnya merupakan bagian dari kesadaran kita. “Wa bi l-akhiratihum yuqinun,” dan mereka yakin terhadap kehadiran Hari Akhirat. Kapan adanya Hari Akhir atau kiamat itu? Sekarang ini, saat ini! Tergantung pada yang menyikapinya. Mari kita perhatikan ayat-ayat berikut ini.
42:17, Allah yang menurunkan Kitab dengan benar dan sebagai Neraca. Tahukah engkau bahwa mungkin saja kiamat itu dekat?

42:18, Orang-orang yang tidak beriman ingin “Saat Kiamat” itu disegerakan, dan orang-orang yang beriman justru waspada terhadapnya karena mereka mengetahui bahwa kiamat itu benar adanya. Ketahuilah bahwa orang-orang yang bertikai tentang “Saat Kiamat” adalah dalam kesesatan yang jauh.

16:77, Dan bagi Allah Yang Mahagaib di langit dan di bumi, peristiwa kiamat itu akan datang dalam sekejap penglihatan atau lebih cepat. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Pertama, kita harus tahu bahwa Tuhan telah menurunkan Kitab-Nya di dunia ini dengan benar. Artinya, ada Undang-Undang bagi kehidupan manusia. Kedua, dan Kitab itu pun berfungsi sebagai Neraca, yaitu penimbang moralitas manusia. Dengan neraca itu manusia harus menegakkan keadilan dalam hidup ini, “fairness”. Hidup yang tidak merugikan diri-sendiri dan orang lain. Cara hidup yang demikian ini timbul karena orang-orang beriman itu selalu waspada terhadap kehadiran kiamat pada dirinya. Orang beriman mengetahui bahwa kiamat benar adanya. Jadi yakin terhadap Hari Akhirat bukanlah percaya adanya Hari Akhirat, tetapi mengetahuinya. Karena tahu itulah dia tidak ingin melanggar neraca tersebut, tidak ingin mencuranginya. Inilah keadilan! Kecurangan akan menghalangi manusia dalam bertarekat. Perbuatan curang senantiasa mendatangkan neraka kepada pelakunya.

Datangnya kiamat itu sekejap mata atau lebih cepat. Dan datangnya pun boleh jadi sudah dekat. Pernyataan surat 42:17 ini bukanlah sekadar kemungkinan, tetapi betul-betul kenyataan bagi yang mengetahuinya. Tuhan tidaklah membuat puisi, tapi memberikan informasi kepada manusia. Orang yang tidak beriman meminta kiamat itu disegerakan, karena mereka tidak mengetahuinya. Bagaimana dapat disegerakan, wong mereka itu tidak mengetahuinya? Bagaimana bisa diperbantahkan wong mereka itu tidak mengetahuinya. Berbantah atau bertikai masalah datangnya kiamat adalah mubazir, dan bahkan menyesatkan kita. Hari kiamat harus kita alami untuk bisa menemui-Nya. Bukankah cepat atau lambat kita pasti menemui-Nya.

Lalu, bagaimana kalau kita tidak mau menemui-Nya? Sungguh malang orang yang tidak mau bertemu dengan sumber hidupnya. Bukankah kita berasal dari-Nya, dan kembali kepada-Nya? Nah, kita harus bisa kembali kepada-Nya dengan kesadaran dan bukan dengan terpaksa! Kita harus merdeka dalam menyongsong kehadiran-Nya. Sungguh rugi orang yang menolak untuk bertemu dengan-Nya. Karena menolak untuk bertemu dengan Tuhan, berarti dia memilih hidup dalam ilusi atau impian semata. Hidup di alam kebahagiaan semu! Seperti yang diungkapkan dalam surat 6:31, “Sungguh merugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah, sehingga apabila kiamat datang kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka mengatakan: alangkah besarnya penyesalan kami karena kelalaian kami kepadanya.”

Coba perhatikan ayat ini, di situ dijelaskan bahwa kiamat datang kepada mereka [yang mendustakan] dengan tiba-tiba. Begitu mereka tersingkap dengan tiba-tiba kesadarannya tentang hidup ini, maka yang ada adalah penyesalan. Yang dipikul adalah kesengsaraan. Hanya karena lalai tentang hadirnya kiamat yang datang tiba-tiba itu. Lain dengan orang beriman, dia selalu waspada. Orang-orang yang selalu hidup murung, menderita dan merasa terus-menerus dalam kesengsaraan [bahkan ada yang nekat bunuh diri karena tak kuat menanggung penderitaan hidup ini], adalah contoh orang-orang yang kedatangan kiamat. Bila kiamat tidak datang selama dia dalam hidup ini, maka kiamat pun akan datang setelah matinya. Hal ini diungkap dalam surat 50:22, “Sungguh engkau berada dalam kelalaian tentang [kematian] ini. Maka Kami singkapkan darimu apa yang menutupimu, dan penglihatanmu pada hari ini sangat tajam.” Dengan demikian, tidak ada gunanya melakukan rekayasa, tipudaya, atau “tricky” dalam hidup ini.

Tobat.
sans-serif;">
Langkah awal dalam tarekat adalah “tobat” atau adanya kemauan untuk kembali kepada-Nya. Bukan hanya mau ramai-ramai di jalan umum, tetapi adanya kemauan untuk menempuh sendirian kepada-Nya. Bukan hanya menuntut ada teman yang menyertai, tetapi berani melangkah sendirian. Nah, tahap ini disebut “decondi-tioning” atau “takhalli”. Berhenti mengikuti arus massa. Bukan melawan arus, tetapi menancapkan pendirian! Jadi, tobat di sini jangan diartikan dengan “meninggalkan kejahatan atau kecurangan” yang pernah kita lakukan. Kita tidak perlu berbuat curang untuk bisa bertobat. Tetapi kita sengaja untuk memilih cara yang benar, kepatuhan yang benar. Inilah makna tobat dalam tarekat!

Tobat dalam tarekat berarti berketetapan untuk tidak mencuri, tidak berzina, tidak menipu, tidak membohongi orang, tidak menganiaya siapa pun, tidak merugikan orang lain, tidak menyakiti; atau dengan kata lain, menegasikan segala perbuatan dan tindakan yang buruk atau jahat. Dalam syariat tobat adalah meninggalkan dan tidak mengulangi perbuatan jahat yang telah diperbuat. Dalam tarekat tobat berarti memilih untuk tidak berbuat jahat. Memilih untuk berbuat lurus! Tidak berpedoman “tujuan menghalalkan segala cara”. Tujuan harus dicapai dengan cara yang benar dan baik [Jawa, bener lan pener].

Memang berat godaan bagi yang mengambil jalan lurus. Lebih-lebih bila kita sudah pernah menikmati “yang bengkok” itu. Bisikan untuk mencecap dan mencicipi kebengkokan itu datang bertubi-tubi. Bagaimana jalan keluarnya bila rayuan setan ini berhembus di dalam hati kita? Bila sugesti setan [bisikan jahat] datang bertubi-tubi ke dalam diri kita, maka kita harus segera berzikir, bersegera untuk eling [sadar] dan waspada. Kita harus bebaskan pikiran kita dari bisikan itu dan kita serahkan diri kita kepada-Nya. Kita harus yakin bahwa Allah mendengarkan dan memperhatikan seruan kita. Kita harus yakin bahwa Allah melindungi kita! Mengapa kita harus yakin? Karena kita telah memilih jalan yang lurus, dan Allah senantiasa di jalan lurus. Di bawah ini ada beberapa ayat yang menopang keyakinan untuk berbuat benar.

  • 7:200, Jika setan mengganggu [mensugesti] engkau maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
  • 7:201, Sesungguhnya orang-orang yang menjaga diri, apabila mereka tertimpa gangguan setan, mereka berzikir kepada Allah, dan ketika itu pula mereka melihat gangguan itu.
  • 42:13, Berat bagi orang-orang yang menyekutukan Tuhan untuk menem-puh jalan yang diinformasikan kepada mereka. Allah menarik orang yang menghendaki jalan-Nya, dan memberi petunjuk kepada jalan-Nya bagi siapa yang kembali [kepada-Nya].
Dengan berzikir kepada Allah, kita sebut nama-Nya dengan bahasa kita, bahasa yang kita pahami dan keluar dari hati yang tulus. Misalnya, “Ya Tuhan, Pelindung diriku, singkirkan gangguan setan itu dariku. Berilah aku kekuatan untuk menempuh jalan-Mu. Sesungguhnya Engkaulah pemilik kekuatan yang sebenarnya.” Ini hanyalah salah satu contoh saja dalam berdoa. Dalam berdoa tak ada keharusan dalam ucapan bahasa Arab. Doa yang baik adalah doa yang kita mengerti maksudnya dengan benar. Doa demikianlah yang ces pleng! Jangan ragu berdoa dalam bahasamu yang keluar dari dalam lubuk hatimu. Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui!

Namun, bila kita tidak terdidik dalam berdoa dengan menggunakan bahasa kita sendiri, kita boleh menggunakan contoh-contoh doa dalam Al Quran atau Al Hadis. Bila kita menggunakan doa dalam bahasa yang bukan bahasa kita sendiri, maka kita harus belajar memahami makna dan maksudnya. Yang penting untuk diperhatikan, janganlah pikiran kita dibebani dengan doa-doa. Pikiran kita harus dibebaskan dari berbagai macam hal yang tidak diperlukan. Pikiran harus senantiasa dijaga tetap segar dan jernih. Dalam kejernihan pikiran kita bisa melihat gangguan setan.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh ayat 42:13, bila pikiran kita tetap mendua maka beratlah jalan Ilahi yang hendak kita tempuh. Kita harus yakin bahwa jalan lurus [jalan positif] yang kita pilih dan ikuti itu adalah jalan yang benar dan tepat. Bila kita sungguh-sungguh menempuhnya niscaya Allah sendiri yang menarik kita ke tengah jalan itu. Allah menghendaki orang yang menghendaki jalan-Nya. Inilah maksud dari “Allahu yajtabi ilaihi man yasya-u” dalam ayat tersebut. Jadi, kata “man yasya-u” tidak berarti Allah yang aktif dan manusianya pasif. Tetapi interaktif antara “kawula” dan “Gusti”, hamba dengan Tuhan.

Wara’.

Kata “wara’” dapat diterjemahkan dengan “hati-hati” atau waspada. Manusia yang tetap menjaga dirinya di jalan yang benar, atau manusia bertakwa, adalah orang yang senantiasa sadar dan waspada. Dengan eling dan waspada itu dia bisa melihat gangguan setan. Bila kita bisa melihat bisikan setan, tentu kita dapat menghindarinya. Sebaliknya, jika cuma meraba-raba dalam kegelapan, ada kemungkinan terhanyut dalam bisikan itu. Dalam syariat wara’ berarti berhati-hati dalam memilih makanan, dan berhati-hati dalam berbuat dan bertindak. Sedangkan wara’ dalam tarekat artinya senantiasa sadar dan waspada.

Baik tobat maupun wara’ adalah tahap “decondioning”, “takhalli”, atau usaha untuk mengosongkan diri kita dari segala dorongan untuk berbuat jahat. Pada tahap ini kita dituntut untuk selalu introspeksi maupun berani mengakui kesalahan yang kita perbuat. Memang sulit rasanya bagi orang dewasa yang sudah terkontaminasi atau tercemar kotoran dalam hidupnya, melakukan dekondisioning. Tetapi bagi yang telah berketetapan hati, langkah awal ini harus dilalui. Harus ada tekad yang bulat dan kuat. Dalam ayat 7:200 disebutkan, bila ada bisikan maka segeralah berlindung kepada-Nya. Lalu dalam 7:201 dijelaskan bahwa begitu terkena gangguan setan, maka harus segera berzikir, segera eling dan waspada! Dan dalam 42:13 disebutkan bahwa orang yang menghendaki jalan-Nya niscaya ditarik Allah ke dalamnya. Lihat kembali ayat surat Al-‘Ankabut/29:69, “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh menempuh jalan Kami, niscaya Kami tunjuki mereka jalan-jalan Kami.”

Mengamalkan Zikir

Dekondisioning harus dilatih! Bagaimana caranya? Seperti yang dijelaskan dalam ayat 7:201, dengan berzikir. Ada dua macam zikir, yaitu zikir dengan berbuat dan zikir dengan bertindak. Pertama, zikir dengan berbuat artinya zikir tanpa tindakan. Tindakannya hanya terjadi dalam diri orang yang melakukannya. Dalam zikir ini kita dilatih untuk mengawasi ucapan kita sendiri dalam keadaan heneng atau diam.

Dalam zikir ini kita dilatih untuk mengawasi nafas kita sendiri. Zikir jenis inilah yang dilakukan ketika seseorang melakukan shalat atau sesudah shalat. Jika di dalam shalat, yang dilakukan adalah memperhatikan bacaan di dalamnya. Jika di luar shalat zikir ini dilakukan dengan duduk relaks, atau duduk yang nyaman, dan disertai ucapan kalimat thayyibat seperti subhanallah [Mahasuci Allah], alhamdu lil-Lah [segala puji kepunyaan Allah], dan allahu akbar [Allah Mahabesar].

Untuk melatih kesadaran dan kewaspadaan kita terhadap kalimat thayyibat yang diucapkan, dibuatlah pencacahan terhadap kalimat tersebut. Misalnya dengan mengucapkan kalimat subhanallah dan alhamdulillah masing-masing 33x dan allahu akbar diucapkan 34x sehingga banyaknya pengucapan kalimat tersebut 100 kali. Dengan zikir ini kita dilatih untuk tetap sadar dan waspada. Pada tahap dekondisioning ini semua pikiran yang kotor dikuras. Jadi, cara mengurasnya bukan dengan jalan mengosongkan pikiran, tetapi dengan cara mengisinya dengan ucapan kalimat yang baik. Dan, pengucapannya pun sekadar didengar telinganya sendiri!

Untuk pelatihan tahap dekondisioning ini para murid [orang yang berkehendak] bisa melatihnya di pagi hari setelah masuk shalat subuh. Latihannya harus dilakukan dengan teratur, cermat, berhati-hati, tekun dan rajin. Misalnya, pelaksanaan zikir ini ditetapkan selama empat puluh hari, setiap pagi. Diusahakan dilatih dalam lingkungan yang hening, sepi. Atau, jika berbakat 10 hari sudah cukup.

Kedua, zikir dengan bertindak. Artinya, ada aksi, ada tindakan! Begitu ada orang yang mengajak kolusi dalam pekerjaan kita, ketika itu pula kita ingat untuk berusaha menghindarinya. Bila desakan ke arah itu menguat, kita harus berani mengatakan kepadanya: tidak! Memang berat mengamalkan zikir dengan bertindak. Karena zikir ini dihadapkan pada kenyataan. Keadaan inilah yang mendorong guru tarekat mendirikan “jamaah tarekat” atau organisasi tarekat. Dengan organisasi, kesulitan anggotanya bisa diatasi. Jadi, kita jangan heran jika di dalam komunitas Islam hadir begitu banyak tarekat. Dalam agama Kristen hadir banyak “gereja” untuk gembalanya. Di Cina ada Zhuan Fa Lun atau gerakan meditasi “Fa Lun Qung”. Sehingga buruh-buruh pabrik yang tadinya biasa “ngutil” produksi pabrik tersebut, seperti handuk, sabun, sandal dll, setelah terlatih meditasi Fa Lun mereka sadar dan mengembalikan hasil ngutilnya. Bahkan manajer pabrik sadar dengan gerakan itu produktivitas pabrik meningkat. Tapi secara politis, Pemerintah Cina terancam oleh gerakan ini.

Mulai saat ini marilah kita praktikkan tarekat ini, dengan zikir berbuat dan zikir bertindak. Jangan ada target dulu. Lebih baik kita merasa berlatih dulu

KEMBALI KEPADA TUHAN



Kembali Kepada Tuhan

Bumi, rembulan dan planet-planet lain di tatasurya ini beredar dalam keseimbangan dan pada batas-batas orbit yang tepat. Begitu pula semua bintang di alam raya ini berjalan dalam keseimbangan. Ini tidak berarti tidak ada penyimpangan. Ada penyimpangan itu! Seperti jatuhnya meteor atau komet pada planet. Penyimpangan itu tidak menghancurkan tatasurya selama “mizan” atau keseimbangan alam itu tidak terlampaui.

Kehidupan masyarakat manusia di bumi ini juga mengikuti hukum keseimbangan. Manusia harus menjaga keseimbangan itu. Itulah sebabnya di dalam Al Quran banyak peringatan untuk tidak merusak bumi ini. Merusak bumi (termasuk atmosfernya) adalah perbuatan merusak keseimbangan alam. Akhirnya, proses peretumbuhan dan perkemba-ngan manusia dalam perjalanan menuju Tuhannya yang mengalami kerusakan. Alam dibuat Tuhan untuk tidak mentolerir perbuatan yang merusak. Jika manusia telah rusak perilakunya, maka alam dengan segera memberi jawabannya yang berupa bencana dan mala petaka. Dalam surat al- A‘raf/7:55-56 manusia diperingatkan,
55. Ud-‘u rabbakum tadharru-‘an wa khunyatan innahu la yuhibbu l-mu‘tadin. ( Mohonlah kepada Tuhanmu dengan merendahkan diri dan dengan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orangyang melanggar batas. )

56. Wa la tufsidu fi l-ardhi ba‘da islahiha wa d-‘uhu khaufan wa thama-‘an inna rahmata llahi qaribun mina l-muhsinin. (  Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diperbaikinya. Dan mohonlah kepada-Nya dengan penuh kesadaran dan penuhharapan. Sesungguh-nya rahmat Allah itu dekat dengan orang-orang yang berbuat ‘ihsan’.)
Telah difahami bahwa “iman dan amal saleh” [imas] itu satu paket. Sering imas ini dinyatakan sebagai ‘kesalehan’ saja. Kesalehan diartikan dengan segenap tindakan yang memberikan manfaat bagi kehidupan. Kebalikannya adalah “fasad” atau kebusukan, kerusakan atau immoralitas. Nah, kebusukan atau kerusakan inilah yang sebenarnya disebut sebagai kekafiran. Kafir berasal dari kata “ka-fa-ra” yang artinya menutupi, menyembunyikan atau mengingkari kebenaran. Ketika Nabi Muhammad Saw di Mekah, kafir dalam pengertian menutupi atau mengingkari kebenaranlah yang menjadi sasaran dakwah beliau. Kaum kafir yang menjadi sasaran peringatan beliau adalah mereka yang melanggar batas seperti dalam ayat 55 di atas atau mereka yang melakukan kerusakan di bumi (ayat 56). Dan ayat tersebut memang diturunkan di Mekah.
Jadi, pada mulanya kekafiran itu tak ada kaitannya dengan agama lain. Ketika beliau masih di Mekah, beliau mengajarkan agama itu kepada kaum jahil yang hidup di kawasan Mekah dan sekitarnya. Berdasarkan sejarah, kaum jahil ini tidak mengerti batas-batas tatakrama kehidupan atau kemanusiaan. Padahal, jika manusia itu tidak mengerti batas kemanusiaannya, manusia akan mudah terjerumus ke dalam perbuatan nista atau zalim, aniaya. Konsekuensi perbuatan aniaya adalah perbuatan yang merusak kehidupan di bumi ini. Cobalah kita perhatikan ekploitasi sumber daya alam di bumi Indonesia ini. Hutan gundul, sampah menggunung, limbah beracun tak tertimbun adalah akibat adanya pelanggaran batas (keseimbangan). Buahnya adalah kerusakan lingkungan hidup. Dan, akibatnya bencana dan mala petaka datang silih berganti.

Ketika beliau di Madinah, bangunan umat Islam yang baru berdiri ini mengalami gempuran dari pihak Kafir Qureisy dari Mekah. Nabi mampu menyatukan orang Arab Madinah dari klan Aus dan Khajrad yang senantiasa bertikai, yang digambarkan di dalam Al Quran sebagai orang-orang yang berada di tepi neraka. Di Madinah pada waktu itu hidup orang-orang non-Arab yang berkitab (Yahudi, dan Nasrani dari salah satu sekte agama Kristen). Bahkan orang Yahudi dapat dikatakan sudah mantap hidup di sana. Semula ajaran Islam ini disampaikan kepada suku-suku Arab yang tinggal di Madinah dan sekitarnya. Kemungkinan timbulnya konflik antara mereka dan orang-orang Islam telah dicermati oleh beliau. Dalam keadaan demikian ini tentu saja Nabi memberi peringatan kepada semua pihak yang hidup di Madinah, agar masing-masing pihak bisa menjaga hak-haknya dan saling melindungi tanpa memperhatikan agamanya. Ajaran ini dirangkum dalam “Piagam Madinah”.

Orang-orang Yahudi yang semula dipandang tinggi statusnya oleh orang-orang Arab, dengan datangnya agama baru ini, mereka merasa kehilangan pengaruhnya. Hasutan-hasutan mulai dilancarkan. Konflik tak dapat dihindari lagi. Ajaran yang nuansanya universal ini harus diimplementasikan secara riil di Madinah. Kota yang menjadi basis perkembangan agama Islam ini tentu saja harus dijaga keamanan dan kedamaiannya agar ajaran Al Quran tetap bisa didakwahkan. Kelompok-kelompok agama lain yang sudah mapan ini diminta untuk tetap teguh memegang kebenaran kitabnya [dalam bahasa sekarang, tidak boleh plin-plan]. Ajakan untuk memelihara hak, menjaga batas, tak digubris lagi oleh mereka. Akhirnya, lahir kenyataan baru, yaitu orang-orang yang berkitab yang tidak bisa menerima kebenaran yang disampaikan oleh Nabi. Inilah yang disebut “orang-orang kafir dari golongan yang berkitab.

Jadi, pada mulanya kekafiran itu hanya terbatas bagi mereka yang melakukan kerusakan di bumi atau mereka yang mengingkari kebenaran. Selanjutnya kekafiran itu juga diatributkan bagi pemeluk agama lain yang tidak mau mengerti terhadap hak-hak yang dimiliki oleh umat Islam. Hal ini bisa dibaca pada surat al-Bayyinah/98:1-7. Kesimpulannya, orang kafir adalah orang yang mengingkari kebenaran dan melakukan kerusakan di bumi. Tak peduli agama apa dia.

Kembali kepada ayat di atas. Manusia diperintah untuk memohon kepada Tuhan dengan cara merendahkan diri, suara yang lembut, penuh kesadaran dan penuh harapan. Inilah tatakrama dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Merendahkan diri artinya bersikap rendah hati, merasa tak punya apa-apa. Karena pemilik yang sebenarnya dari semua ini adalah Allah. Kalau diumpamakan “gentong” maka kita harus merasa sebagai gentong yang kosong, yang siap diisi. Suara yang dibunyikan harus lembut! Cuma didengar oleh telinganya sendiri. Inilah prinsip zikir! Selanjutnya, permohonan itu harus dikerjakan dengan penuh kesadaran. Artinya, harus tumbuh dari hati dan pikiran yang jernih. Dan, terakhir ditopang oleh keyakinan yang kuat akan dikabulkannya permohonan itu.

Ingat, rahmat Tuhan itu akan hinggap pada orang-orang yang berbuat ihsan. Suatu perbuatan yang tumbuh dari hati yang murni. Suatu perbuatan yang tidak distimulasi oleh keinginan yang melanggar batas. Perbuatan yang tidak dilandasi oleh dorongan untuk mengeksploitasi bumi. Hanya sebatas yang diperlukan! Hanya mengambil manfaat untuk kehidupan. Bukan untuk kemubaziran atau pemborosan dalam hidup ini. Memang hal ini tampak seperti bertentangan terhadap prinsip “pemasaran”. Tetapi sebenarnya kita ini diingatkan agar menjaga kesejahteraan alam ini demi anak-cucu dan kemanusiaan kita. Apalah artinya kita sekarang hidup bergelimang harta, tetapi di masa depan kita mengalami ketekoran hidup. Karena energi semesta sudah kita hutang sekarang ini, sehingga di masa depan kita tekor karena harus membayarnya.

Di dalam surat al-Isra’/17:26-29 dinyatakan,
26. Berikan kepada sanak kerabat akan haknya. Juga kepada orang-orang miskin dan ibnu sabil. Dan janganlah menghambur-hamburkan harta secara boros.
27. Sesungguhnya para pemboros (mubazirin) adalah saudara setan, dan setan itu senantiasa mengingkari Tuhan.
28. Apabila kamu tidak bersedia untuk memberi mereka karena engkau mengharapkan mendapat rahmat dari Tuhan, maka katakanlah kepada mereka dengan ucapan yang lemah lembut.
29. Janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu, dan jangan pula terlalu mengulurkannya sehingga kamu menjadi tercela dan menyesal.
Sebelumnya telah diterangkan bahwa syariat itu untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan manusia lahir dan batin. Syariat atau sembah raga ini meliputi pelayanan di antara sesama dan pelatihan pribadi dalam berhubungan dengan Tuhan. Dengan kata lain, sembah raga itu ada yang berwujud pelayanan riil di antara sesama manusia, dan ada pula yang berupa pelatihan diri untuk penyatuan diri dengan Yang Mahaesa. Jangan salah paham lho! Dari segi aspek realitas, kita itu senantiasa bersama dan berada di dalam Tuhan. “Dan Dia senantiasa bersama kamu di mana saja kamu berada. (QS 57:4). Nah, penyatuan diri adalah upaya untuk kembali kepada Tuhan, wa inna ilaihi raji-‘un.

Dengan terciptanya masyarakat yang anggota-anggotanya saling melayani, maka terwujudlah azas manfaat. Syariat atau sembah raga untuk menuju masyarakat shalihin. Masyarakat yang di dalamnya merupakan wujud pluralitas sejati. Perbedaan agama, kepercayaan, dan etnis tidak menghalangi untuk bisa hidup saling melayani dalam mewujudkan masyarakat yang damai [QS 2:62, dan 5:69]. Semua pihak dituntut untuk mengutamakan kesalehan dan rendah hati! Karena
itu jangan berisik, kalau bersuara bersuaralah yang lemah lembut. Kesadaran dalam berzikir [sembahyang] diterapkan dalam kehidupan sosial. Bila dalam berdoa kepada Tuhan harus dilandasi dengan harapan, begitu pula dalam kehidupan bersama. Kita harus punya keyakinan bahwa pelayanan yang tulus di antara sesama akan berbuah kesejahteraan dan kedamaian bersama. Duri-duri kecurigaan harus disingkirkan.

Nah, untuk membentuk masyarakat shalihin, kita harus bisa menghormati hak-hak kerabat kita sendiri, orang-orang miskin dan ibnu sabil. Ini adalah syariat dasar yang dikumandangkan sejak di Mekah. Seruan ini di Madinah nantinya diwujudkan dalam bentuk “zakat” dalam pengertian sedekah. Seperti yang telah dibuktikan oleh sejarah, masalah ekonomi adalah hal yang menentukan sejarah manusia dan kemanusiaan. Tak ada agama yang tidak menempatkan dana atau sedekah sebagai syariat dasarnya. Islam yang diklaim sebagai agama terakhir pun menempatkannya sebagai salah satu sendi syariatnya. Sesuai dengan perkembangan agama, implementasi sedekah atau dana ini tergantung pada keadaan perekonomian manusia. Mula-mula sedekah itu berupa anjuran untuk memberikan sebagian harta kepada yang miskin. Kemudian berkembang menjadi kewajiban, dan yang disedekahkan pun ada takarannya, misalnya 10% dalam agama Kristen, 2,5% dalam agama Islam. Namun demikian, banyaknya harta yang harus dizakatkan tidak diatur di dalam Al Quran. Pihak penerima zakat yang dicantumkan di dalam Al Quran.

Pada ayat-ayat di atas ditekankan sekali agar kita mampu memelihara harta benda yang dikaruniakan oleh Tuhan dengan sebaik-baiknya. Pemboros dan kikir sama-sama harus dijauhi. Karena keduanya adalah perbuatan setan. Keduanya merupakan produk hati yang gelap dan pikiran yang keruh. Kegelapan dan kekeruhan senantiasa menjauhkan kita dari Tuhan. Ya, setan itu selalu mengingkari kebenaran. Manusia harus pandai-pandai untuk mengambil jalan tengah. Boros hakekatnya menghambur-hamburkan energi yang disediakan Tuhan di alam ini. Kikir berarti menyembunyikan anugerah Tuhan yang diberi-kan kepada manusia, yang seharusnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan hidupnya. Baik boros maupun kikir, keduanya adalah perbuatan tercela , yang pada akhirnya menyebabkan manusia hidup menyesal alias menderita.

Apa yang diuraikan ini masih pada tahap sembah raga. Landasan untuk menempuh tingkatan hidup yang lebih tinggi. Kalau dalam bahasa tasawuf Timur Tengah, ada empat tahapan yang harus ditempuh manusia untuk bisa kembali kepada Tuhan Yang Mahaesa. Yaitu, dari syariat, tarekat, hakekat, hingga makrifat. Yang dalam bahasa tasawuf Jawa disebut sebagai sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa. Yang kesemuanya ini disebut sebagai catur sembah. Baik makrifat ataupun sembah rasa adalah tahapan manusia untuk dapat mengenal Diri sejatinya. Dengan mengenal Diri Sejatinya manusia akan kenal dengan Tuhannya. Ingat bunyi Hadis, “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu,” barangsiapa yang mengenal dirinya niscaya akan kenal dengan Tuhannya.

Di tahap syariat, yang dinamakan orang miskin adalah orang yang kekurangan harta benda. Orang ini mempunyai pekerjaan tetapi tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Yang lebih rendah dari orang miskin adalah “fakir”, kaum papa. Orang yang betul-betul tidak mampu memenuhi keperluan hidupnya. Nah, di banyak ayat sering miskin dan fakir ini disebut “miskin” saja. Orang Indonesia biasa menyebutnya fakir-miskin. Agar tidak menimbulkan problema kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, mereka yang miskin ini harus ditanggulangi. Ketika struktur ekonomi masih sederhana, menyantuni mereka dengan zakat sedekah sudah cukup. Namun ketika struktur ekonomi menjadi semakin kompleks, pemecahannya tidak cukup dengan zakat sedekah. Artinya, kemiskinan tak akan bisa dipecahkan hanya di tahap syariat.

Lalu harus dipecahkan dengan cara apa? Di sinilah kita dituntut untuk meningkatkan kualitas sembah atau ibadat kita. Kita tak boleh mandeg atau cuma berhenti di syariat. Kita harus memahami sumber kemiskinan yang lebih dalam. Kita tidak cukup hanya melihat kemiskinan dari segi tidak adanya pekerjaan, lemahnya ketrampilan, atau rendahnya pendidikan. Kemiskinan harus dilihat dari sumbernya yang lebih dalam, yaitu kemiskinan budi pekerti atau akhlak. Ya, kemiskinan di tingkat ihsan atau jiwa. Jika di dalam umat ini terlalu banyak orang yang miskin jiwanya, maka jangan heran bila timbul kemiskinan lahiriah yang luar biasa. Jadi, perintah untuk tidak hidup boros atau kikir adalah untuk menanggulangi terjadinya kemiskinan.

Lho, apa hubungannya boros dan kikir dengan kemiskinan? Di atas telah dijelaskan bahwa boros itu menghambur-hamburkan energi. Energi itu dihamburkan untuk memenuhi kepentingan sendiri, atau buat kesenangan egonya. Akibatnya, di tempat atau kelompok lain akan timbul kekurangan. Muncul kemewahan pada kelompok tertentu, dan timbul kemiskinan pada banyak kelompok lain. Begitu pula kekikiran! Kekikiran menyebabkan terakumulasinya energi pada orang atau kelompok tertentu, tetapi tidak dimanfaatkan. Energi itu tidak didistribusikan, hanya ditimbun saja. Terjadilah kebuntuan aliran energi di tengah masyarakat. Yang tidak teraliri mengalami kemiskinan. Nah, ternyata sumber kemiskinan itu keborosan dan kekikiran. Sedangkan boros dan kikir itu timbul dari kemiskinan budi atau jiwa. Boros dan kikir itu setan, perbuatan yang menjauhkan diri dari kebenaran atau mengingkari Tuhan. Jadi, pemboros dan orang kikir adalah saudara setan. Orang tidak bertindak boros atau kikir bila keihsanan telah tumbuh di dalam jiwa orang tersebut.

Ihsan adalah tahap yang lebih tinggi dari Islam dan Iman. Ihsan ada di wilayah sembah jiwa. Suatu wilayah di tahap akhir sebelum memasuki tahap sembah rasa. Bila di tahap syariat orang harus bisa menampilkan kesejahteraan ragawi, di tahap tarekat atau sembah cipta manusia harus bisa hidup dalam kedamaian hati. Kenikmatan yang diperoleh tidak lagi pada banyaknya harta benda. Kemudian masuk ke tahap sembah jiwa atau dunia ihsan, dunia ketulusan hati. Memasuki alam kesadaran untuk duduk bersimpuh di hadirat Ilahi. Kenikmatan yang diperoleh berupa kesempurnaan diri. Di tahap ini manusia mulai mampu menimbang hakikat yang terjadi.

Mengapa sih bicara tentang syariat, keborosan dan kekikiran dihubungkan dengan energi? Di sinilah kita harus tahu! Bahwa hidup ini berkaitan dengan aliran energi. Badan kita ini sebenarnya hanyalah ibarat kabel yang dilalui energi. Sedangkan harta-benda, warna, cahaya dan lain-lainnya adalah bentuk-bentuk energi. Karena itu jangan heran bila secara alami manusia tertarik pada harta benda. Harta benda adalah bentuk energi yang paling kasar. Pintu masuknya ke dalam diri kita adalah indera jasmani. Kekurangan energi menimbulkan kelemahan atau penderitaan jasmani, seperti lapar, haus, sakit, dan derita jasmani lainnya. Bila energi ini kita peroleh, maka kita terpuaskan atau menjadi sehat.

Bagaimana bila energi kita serap banyak-banyak sehingga melebihi kapasitas jasmani kita? Jasmani manusia memiliki daya tampung. Jika daya tampungnya terlampaui, maka akan terjadi penimbunan. Timbunan-timbunan ini akan menghambat atau menghalangi aliran energi di dalam tubuh. Akibatnya, timbul sakit pada jasmani. Agar tidak tertimbun, maka energi ini kita alirkan keluar. Misalnya, berupa banyak bergerak [pekerjaan fisik, olah raga, salat, dll], marah-marah, dan aktivitas seksual. Tentu saja penyaluran energi dengan marah-marah adalah perbuatan negatif. Nah, bila kelebihan energi ini bisa mengalir keluar dengan mulus, maka manusianya menjadi terpuaskan.

Perlu diperhatikan, kelebihan energi bendawi (selama badan sehat) akan meningkatkan aktivitas seksual. Dan ini memang jalur alami pada makhluk hidup. Hanya saja pada manusia bila kelebihan energi ini tidak dikontrol dengan baik, penyalurannya menjadi tidak seimbang, yaitu lebih banyak melalui aktivitas seksual. Akibatnya, aktivitas seksual yang secara alaminya suci, menjadi terkontaminasi sehingga menjadi aktivitas yang negatif. Nah, syariat sebenarnya mengatur masuk-keluarnya energi bendawi secara sehat. Jadi, bila ada orang yang mudah marah, itu tandanya kelebihan energi bendawi atau terjadi penyumbatan energi di dalam tubuh.

Secara individual boros berarti menyerap energi harta benda secara berlebih-lebihan, sehingga banyak pihak yang menderita kekurangan energi. Orang boros menyebabkan ketekoran energi pada pihak lain, dan membuat ketekoran energi pada dirinya di masa depannya. Karena itu orang yang boros akan mengalami penderitaan. Orang kikir banyak mengumpulkan energi. Karena tak disalurkan, dan cuma ditimbun, maka akan menimbulkan sumbatan energi dalam hidupnya. Penyakit jasmani pun akan timbul. Akibatnya, orang yang kikir juga mengalami penderitaan. Ia akan menderita karena energi itu tidak dimanfaatkan dengan benar. Dan dalam masyarakat keborosan dan kekikiran akan menimbulkan kemiskinan. Yang pada akhirnya menimbulkan bencana dan malapetaka.

Zakat sedekah adalah sarana untuk mencegah timbulnya keborosan dan kekikiran harta benda. Memang ini merupakan langkah pertama untuk mengendalikan kemiskinan dalam suatu negara. Hal ini diungkapkan dalam surat at-Taubah/9:103,

Pungutlah zakat sedekah dari sebagian harta benda mereka. Dengan zakat itu engkau membersihkan dan menyucikan. Dan mohonkan rahmat bagi mereka. Sesungguhnya permohonanmu itu menentramkan jiwa mereka. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.

Jadi, dengan zakat itu kemungkinan terjadinya penyumbatan energi bendawi di dalam masyarakat dicegah. Masyarakat dibersihkan dari berbagai macam penyakit. Namun, bila serangan penyakit terlalu berat dan terlalu kompleks, zakat tak akan sanggup menyehatkannya. Harus ada upaya tarekatnya, atau sembah ciptanya. Mengenai pihak-pihak yang secara fisikal berhak menerima zakat sedekah akan dibahas pada materi tasawuf yang akan datang.