Selasa, 01 Oktober 2013
Senin, 30 September 2013
Senin, 19 Agustus 2013
Selasa, 09 Juli 2013
Senin, 08 Juli 2013
Rabu, 10 April 2013
INILAH SUNAH RASULULLAH YANG SUDAH DILUPAKAN
-->
Inilah Sunnah Rasulullah Yang Sudah Dilupakan
Susu kambing adalah minuman yang tidak kalah bergizinya dibandingkan dengan susu sapi. Bahkan keluhan-keluhan kesehatan yang sering dijumpai akibat minum susu sapi tidak pernah ditemui beritanya pada orang-orang yang mengkonsumsi susu kambing.
Susu kambing dapat menjadi alternatif bagi konsumen yang mempunyai alergi terhadap susu sapi. Boleh jadi itulah hikmahnya mengapa dalam riwayat-riwayat shahih tentang kehidupan Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabatnya kita temui kisah mereka minum susu kambing, dan bukan susu sapi!
Namun, manfaat susu kambing sayangnya masih belum disadari oleh kebanyakan kaum muslimin termasuk bangsa Indonesia yang merupakan penduduk muslim terbanyak di dunia.
Sebagaimana di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat, di Indonesiapun susu sapi dan berbagai produk olahannya lebih memasyarakat dan lebih mudah dijumpai di pasaran dibandingkan dengan susu kambing.
Sunnah Rasulullah yang telah dilupakan
Rasulullah saw. pernah bersabda sebagaimana yang diriwayatkan dalam HR. Muslim bahwa Islam datang dalam keadaan asing dan pada akhirnya akan datang suatu masa di mana Islam akan menjadi asing kembali. Karena dalam memahami dan mempraktekkan ajaran-ajaran Islam seorang muslim diperintahkan Allah SWT. untuk meneladani Rasulullah saw. (QS. 33: 21) [1], maka dalam sejarahnya terdapat pula masa di mana praktek meneladani semaksimal mungkin seluruh sikap dan perilaku sehari-hari Rasulullah – termasuk kebiasaan makan dan minumnya – mengalami masa awal yang asing dan masa kemudian yang asing pula. Di antara jenis minuman yang biasa diminum oleh Rasulullah saw. adalah susu kambing segar, yakni langsung diminum sesudah diperah dari ambing kambing (kisah Abdullah bin Mas’ud pada masa remaja saat dia menggembalakan kambing milik Uqbah bin Mu’aith) [2]. Namun, berapa persen dari penduduk muslim di seluruh dunia ini – terlepas dari kemampuan ekonominya – yang punya kebiasaan minum susu kambing? Atau lebih spesifisik lagi: berapa persen dari seluruh kaum muslimin di dunia ini yang tahu akan manfaat susu kambing?
Sulit untuk menemukan adanya data statistik aktual tentang jumlah konsumsi susu kambing di seluruh dunia, apalagi di negara-negara yang penduduknya sebagian besar muslim karena pada umumnya data internasional tentang produksi, konsumsi dan kebutuhan susu ternak yang didokumentasikan dengan baik adalah untuk susu sapi [3]. Bahkan tidak ada data dunia untuk jumlah populasi ternak ruminant kecil (kambing dan domba) yang dibedakan tujuan produknya (sebagai pemasok daging, serat wol, kulit ataukah susu).
Namun, dari data yang tersedia3 nampak bahwa produsen susu kambing yang paling produktif (dalam kg susu/ekor/tahun) di dunia adalah negara Eropa Barat dan Timur yang sebagian besar penduduknya non-muslim seperti misalnya Perancis (400), Rusia (125), Spanyol (121), Italia (115), dan Yunani (78).
Sedangkan di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim seperti Aljazair (47), Irak (35), Sudan (31), Turki (30), Pakistan (17) dan Indonesia (15) produktifitas susu kambingnya sangat rendah. Juga dari muamalah penulis dengan sesama muslim, baik bangsa sendiri maupun bangsa asing yang tinggal di Jerman, dan dari pengamatan terhadap ketersediaan susu sapi dan susu kambing di pasar, toko maupun pusat-pusat perbelanjaan diduga kuat bahwa jawaban atas kedua pertanyaan di atas adalah: tidak banyak. Sebagaimana di berbagai aspek kehidupan lainnya (politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan/keamanan) rupanya dalam hal kebiasaan makan dan minumpun kaum muslimin masih dikuasai oleh arus pemikiran dan politik negara-negara barat.
Sedangkan di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim seperti Aljazair (47), Irak (35), Sudan (31), Turki (30), Pakistan (17) dan Indonesia (15) produktifitas susu kambingnya sangat rendah. Juga dari muamalah penulis dengan sesama muslim, baik bangsa sendiri maupun bangsa asing yang tinggal di Jerman, dan dari pengamatan terhadap ketersediaan susu sapi dan susu kambing di pasar, toko maupun pusat-pusat perbelanjaan diduga kuat bahwa jawaban atas kedua pertanyaan di atas adalah: tidak banyak. Sebagaimana di berbagai aspek kehidupan lainnya (politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan/keamanan) rupanya dalam hal kebiasaan makan dan minumpun kaum muslimin masih dikuasai oleh arus pemikiran dan politik negara-negara barat.
Padahal Allah SWT. telah berfirman dalam Al Qur’anul Karim: „Maka makanlah yang halal lagi baik (thoyyib) dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah“ (QS. 16 :114).
Kebanyakan kaum muslimin baru tiba pada tahap halal, belum sampai tahapan thoyyib. Padahal kalau kita menganalogikan dengan kedudukan sholat wajib dan membayar zakat yang selalu diperintahkan Allah secara bersama-sama dalam sebuah ayat (contohnya di dalam QS. 2: 83, 5: 12, 19: 55 dan 21: 73) untuk menunjukkan pentingnya hal yang kedua yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari hal yang pertama (riwayat Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. memerangi kaum muslimin yang enggan membayar zakat meskipun mereka tidak meninggalkan sholat)[4], maka semestinya pengetahuan mengkonsumsi makanan dan minuman yang thoyyib pun tidak boleh dipisahkan dari yang halal. Maka hendaknya kita tidak berpuas diri dengan mengetahui makanan dan minuman yang halal saja, melainkan hendaknya kita juga menambah pengetahuan kita akan ke-thoyyib-an makanan dan minuman halal, termasuk susu.
Kebanyakan kaum muslimin baru tiba pada tahap halal, belum sampai tahapan thoyyib. Padahal kalau kita menganalogikan dengan kedudukan sholat wajib dan membayar zakat yang selalu diperintahkan Allah secara bersama-sama dalam sebuah ayat (contohnya di dalam QS. 2: 83, 5: 12, 19: 55 dan 21: 73) untuk menunjukkan pentingnya hal yang kedua yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari hal yang pertama (riwayat Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. memerangi kaum muslimin yang enggan membayar zakat meskipun mereka tidak meninggalkan sholat)[4], maka semestinya pengetahuan mengkonsumsi makanan dan minuman yang thoyyib pun tidak boleh dipisahkan dari yang halal. Maka hendaknya kita tidak berpuas diri dengan mengetahui makanan dan minuman yang halal saja, melainkan hendaknya kita juga menambah pengetahuan kita akan ke-thoyyib-an makanan dan minuman halal, termasuk susu.
Kontroversi Susu Kambing dan Susu Sapi
Pada umumnya konsumsi susu ternak dianjurkan karena potensinya sebagai sumber protein dan kalsium yang sangat penting bagi kesehatan manusia. Bahkan sebagai sumber kalsium - dengan pola makan masyarakat yang umumnya sangat kurang konsumsi sayur segarnya - nyaris susu tak bisa digantikan dengan bahan makanan lainnya [5]. Oleh karena itu, pada umumnya ahli pangan dan gizi sangat menganjurkan untuk minum susu setiap hari. Namun, seorang ahli pangan yang sangat memperhatikan pengaruh pola makan terhadap kesehatan dan proses timbul dan sembuhnya berbagai macam penyakit, Norman W. Walker telah membuktikan bahwa susu – kecuali susu kambing segar – adalah bahan makanan yang paling banyak menimbulkan lendir di dalam tubuh manusia [6]. Beliau juga mengamati bahwa susu yang paling cocok untuk dikonsumsi manusia (selain bayi yang belum lepas dari air susu ibu) adalah susu kambing segar. Dinyatakannya pula bahwa pemanasan di atas suhu 48°C justru merusak nilai fisiologis susu
kambing dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan karena merangsang timbulnya lendir yang berlebihan – suatu hal yang sangat kontroversial bagi ahli gizi dan teknologi pengolahan pangan pada umumnya.
Di antara gangguan kesehatan yang ditimbulkan dari mengkonsumsi susu sapi adalah kegemukan, asma, infeksi paru-paru, pilek alergi (misal alergi serbuk sari) dan tuberkulosis6, meskipun pada umumnya ahli gizi dan dokter berpendapat bahwa susu sapi dapat menjadi bahan makanan sumber berbagai macam antibodi untuk melawan penyakit [7].
Allah SWT. telah berfirman bahwa susu adalah minuman yang disediakan-Nya bagi manusia (QS. 16: 66, 23: 21). Allah juga menyebutkan bahwa minuman susu itu mudah ditelan oleh manusia. Dalam istilah ilmu gizi tentunya mudah ditelan ini maksudnya adalah mempunyai arti fisiologis yang baik. Tidak mungkin Allah menjerumuskan hamba-hamba-Nya dengan menunjukkan sumber minuman yang justru menimbulkan berbagai macam penyakit. Maka dalam kontroversi manfaat ataukah kerugian yang akan kita rasakan sesudah mengkonsumsi susu sapi perlu dikaji secara menyeluruh, bukan hanya untuk satu jenis gangguan kesehatan semata. Kalau dikatakan susu sapi bisa menjadi sumber antibodi untuk melawan penyakit tertentu, sedangkan di sisi lain status kesehatan orang yang bersangkutan tidak dimonitor secara menyeluruh (misal alergi tetap ada dan berat badan semakin bertambah tanpa bisa dikontrol), maka boleh jadi memang ada manfaat dari susu sapi bagi kesehatan manusia di samping banyak mudhorot yang ditimbulkannya. Ini mirip dengan yang telah berlaku bagi minuman keras (khamr), tapi dalam khamr ini Allah jelas-jelas telah membongkar rahasianya dengan berfirman bahwa di dalam khamr memang bisa ditemui ada manfaatnya (paradoks Perancis dengan khamr anggur merahnya), namun kemudhorotannya jauh lebih besar. Dengan demikian maka besarnya konsumsi susu sapi oleh kaum muslimin selama ini bisa jadi hanya disebabkan oleh keterbatasan ilmu manusia yang keliru dalam menafsirkan ayat tentang susu dalam Al Qur’an sebagai susu ternak apa saja termasuk sapi, sedangkan seharusnya adalah susu kambing. Bukti-bukti ilmiah tentang manfaat susu kambing terhadap kesehatan sebetulnya telah diperoleh manusia 3,6,[8],[9] hanya saja secara umum publikasinya masih kalah dibandingkan dengan susu sapi3.
Kesiapan Teknologi Pendukung Produksi Susu Kambing
Sesudah mengetahui sangat banyaknya manfaat susu kambing dibandingkan dengan susu sapi, maka tentu timbul pertanyaan: Mengapa di Indonesia sulit dijumpai produk susu kambing di toko-toko atau di supermarket - supermarket? Bukankah kambing bisa hidup di iklim negara kita? Apakah memang budidaya kambing itu sulit alias tidak prospektif dari sudut pandang ekonomi? Telah diteliti bahwa budidaya kambing sangat potensial dan realistis untuk dikembangkan di negara-negara yang sedang berkembang dengan iklim tropis3.
Dari Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Ternak di Bogor dapat disimpulkan bahwa kondisi lingkungan di Indonesia sangat cocok bagi budidaya kambing dari jenis yang bisa dijadikan sekaligus pemasok susu dan daging, yakni peranakan antara kambing kacang dan kambing Etawah yang berasal dari India dan dikenal dengan kambing PE ( Peranakan Etawah ) [10]. Dalam laporan penelitian itu disarankan agar ternak kambing yang jantan dibesarkan untuk dimanfaatkan dagingnya, sedangkan ternak yang betina dibesarkan untuk diambil susunya. Diperhitungkan bahwa satu ekor kambing PE dapat mencukupi kebutuhan protein hewani asal susu untuk sebuah keluarga dengan 5 orang anggota keluarga. Budidaya kambing PE ini sudah menunjukkan keberhasilan di beberapa daerah sehingga sangat potensial untuk dijadikan proyek nasional bagi negara kita yang mayoritas penduduknya masih sangat rendah status gizi dan kemampuan ekonominya.
Jadi, apa lagi yang perlu kita tunggu? Di satu sisi kita dapat menaikkan taraf kesehatan masyarakat dengan menyediakan sumber protein hewani yang halal dan thoyyib, dan menaikkan taraf ekonomi rakyat di pedesaan-pedesaan melalui usaha budidaya kambing ini. Di sisi lain kita dapat melestarikan salah satu sunnah Rasulullah yang telah banyak dilupakan orang di negara yang mayoritas penduduknya muslim. Kita bisa mengambil pelajaran dari negara tetangga kita Malaysia yang telah sukses lebih dahulu dalam mempromosikan pentingnya peran susu kambing ini secara profesional [11].
Oleh karena itu sudah saatnya para ahli teknologi pengolahan pangan, ahli gizi, ekonom, ahli budidaya ternak dan jajaran pimpinan di pemerintahan memikirkan lebih serius lagi dan saling bekerja sama dalam memasyarakatkan peran penting susu kambing ini dan meningkatkan produksinya. Dalam hal ini ada dua hal penting yang perlu mendapatkan prioritas: peningkatan produksi susu dengan tetap memperhatikan kesehatan ternak dan lingkungan, dan peningkatan keamanan/higiene susu, terutama karena manfaat kesehatan susu kambing sangat berkurang akibat pemanasan, sedangkan pada umumnya untuk keamanan dan pengawetan produk susu perlu dipanaskan.
--------------------------------------------------------------------------------
Footnote :
[1] Al Qur’an dan Terjemahannya. Yayasan Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an Departemen Agama. (1971) [2] Khalid, M. Kh.: Karakteristik Perihidup 60 Shahabat Rasulullah. Penerjemah: Mahyuddin Syaf dkk. Bandung: CV Diponegoro, p. 215-216 (1987) [3] Haenlein, G.F.W.: Past, Present, and Future Perspectives of Small Ruminant Dairy Research. Journal of Dairy Science, 84(9): 2097-2115 (2001) [4] Khalid, M. Kh.: Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah. Penerjemah: Mahyuddin Syaf dkk. Bandung: CV Diponegoro, p. 78-82 (1992) [5] Kristanti, I.: Bila tidak tahan minum susu. http://pagihp.tripod.com/minmsusu.htm (1998) [6] Walker, N.W.: Auch Sie können wieder juenger werden. Judul asli: Become younger. Muenchen: Wilhelm Goldmann Verlag, p. 58-64 (2002) [7] Carper, J.: Nahrung ist die beste Medizin. Judul asli: The Food Pharmacy. Muenchen: Econ Ullstein List Verlag, p. 179-194 (2001) [8] Walker, N.W.: Frische Frucht- und Gemuesesaefte. Judul asli: Fresh Vegetable and Fruit Juices. Muenchen: Wilhelm Goldmann Verlag, p. 120-122 (1995) [9] Rachman, R.: Khasiat Susu dan Daging Kambing. Harian Kompas, 2 September 2002. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0209/02/iptek/khas35.htm [10] Kambing PE Penghasil Daging Sekaligus Susu. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol. 23 (4), 2001. http://pustaka.bogor.net/publ/warta/w2345.htm [11] http://www.m-sia.com/npdairies
Penulis: Indah Kristanti (nurulqolbu@web.de) Alhikmah.com
Sumber: http://rt013rw035.blogspot.com/2013/04/inilah-sunnah-rasulullah-yang-sudah.html
Jumat, 22 Maret 2013
JALAN MENUJU SUMBER KEHIDUPAN SEJATI
Syariat adalah jalan menuju sumber air kehidupan. Ia adalah jalan
umum, jalan yang ditempuh secara bersama-sama oleh suatu komunitas. Namun,
semakin dekat dengan sumber air itu, jalannya semakin sempit. Jalan yang hanya
cukup dilalui oleh dirinya. Jalan inilah yang disebut “tarekat” [thariqah].
Kalau
digambarkan hubungan antara syariat dan tarekat, dapat diumpamakan seseorang
yang mau nonton film di gedung bioskop. Ada syarat umum yang berlaku bagi yang
ingin menonton. Pertama, umur yang akan menonton, yang dalam bahasa agama ia
harus sudah akil-balig [sudah cukup umur dan berakal sehat]. Kedua,
orang tersebut harus punya karcis atau undangan menonton. Bila yang akan
menonton itu tidak diatur, maka mereka akan berebut beli karcisnya, atau
berebut masuk gedung pertunjukannya. Nah, antre agar bisa beli karcis dan masuk
satu per satu dapat dium-pamakan sebagai tarekat.
Dari syariat
ke tarekat tidaklah terputus begitu saja. Kedua jalan ini bersam-bungan, dari
jalan yang lebar kemudian menuju jalan yang lebih sempit. From the road of
life to the path of life. Dari jalan di luar diri menuju jalan di dalam
diri. Dari jalan raya masuk ke gang di mana rumah “Diri Sejati” berada.
Yaa, sebenarnya kita ini seperti orang-orang yang hendak pulang ke
masing-masing rumahnya. Karena rumah itu ada di dalam RT/RW yang sama, maka
mula-mula kita berjalan di atas jalan raya yang sama, dan selanjutnya berpisah
menuju gang-gang yang berbeda, akhirnya masuk ke rumahnya sendiri-sendiri. Di
rumah itulah Allah menyambut manusia secara perorangan. Seperti yang dinyatakan
dalam surat Maryam/19 : 93, 95,
- 93. In kullu man fi s-samawati wa l-ardhi illa ati r-rahmani ‘abda.
- 95. Wa kullu hum atihi yauma l-qiyamati farda.
- 93. Sungguh setiap diri, baik yang ada di langit maupun di bumi, akan datang kepada Yang Maha Pemurah sebagai seorang hamba.
- 95. Dan, setiap diri datang kepada-Nya pada hari kebangkitan sendirian.
Jadi,
meskipun di dalam syariat kita melakukan peribadatan yang sama, seperti shalat
berjamaah, puasa Ramadhan, dan ibadah Haji, tetapi jalan kepada-Nya betul-betul
kita tempuh sendirian. Syariatnya sama, tetapi tarekatnya berbeda. Karena
tarekat itu harus pas dengan orang yang menempuhnya. Tarekat harus mengarah
dengan tepat letak rumah yang dituju. Jika diumpamakan dengan orang yang akan
menonton film, kita ada di antrean yang sama, tetapi uang yang kita gunakan
untuk membayarnya atau nomor tempat duduknya berbeda sesuai dengan kenyamanan
diri kita masing-masing. Yang dituntut dalam syariat adalah keseragaman,
sedangkan yang dituntut dalam tarekat adalah keunikan.
Kembali
kepada perumpamaan di atas, setelah orang duduk dan menyaksikan filmnya, maka
penghayatan terhadap film itu pun berbeda-beda tergantung pada latar belakang
sang penonton, yaitu budaya, pengalaman, pengetahuan, dan kedalaman
rasa yang dimilikinya. Begitu pula ketika kita kembali kepada Tuhan,
setiap orang akan melihat filmnya sendiri. Penghayatan terhadap filmnya sendiri
itu tergantung pada amaliah, kebersihan dan kesucian batin yang bersangkutan.
Dan, pada saat dia menyadari filmnya, berarti dia sudah ada di tahap hakekat.
Tahap bangkitnya ke-sadaran diri. Tahap “yaum al-qiyamah”! Bila dia
sudah hidup di alam “qiyamah” maka dia sudah hidup di “maqam makrifat”.
Dia senantiasa tercerahkan! Dia tidak hidup lagi tergantung pada orang lain,
tidak terkolonisasi, hidup merdeka. Bahkan dia telah menjadi gantungan bagi
orang-orang lainnya.
Dengan
demikian, tasawuf sebenarnya mendidik orang untuk hidup mandiri, hidup merdeka,
hidup yang setara dengan orang lain. Hidup menjadi sufi sebenarnya adalah hidup
yang sepenuhnya menggantungkan diri kepada Yang Ilahi. Yang dengan kata lain,
disebut “hidup tawakal” atau “tawakkul”. Sebelum kita bisa hidup
hanya dengan menggantungkan diri kepada Tuhan, berarti kita belum hidup dalam
makrifat, meskipun secara teoritis kita sudah mempelajarinya. Tetapi belajar
adalah cara untuk mencapainya! Jadi, tidak perlu pesimis bila hari ini kita
masih dalam perjalanan untuk memperoleh “tirta prawitasari” atau sari
dari air suci, esensi kehidupan.
Orang yang
mampu melihat hakikat dirinya disebut “insan kamil” alias manusia
sempurna. Manusia yang merupakan wujud dari makrokosmos dan mikrokosmos. Dia
adalah miniatur dari Yang Haq, wujud mini dari Tuhan Yang Mahaesa. Nah,
perjalanan kita untuk menjadi miniatur-Nya adalah perjalanan kembali
kepada-Nya. Orang yang sadar bahwa dirinya dalam hidup ini sesungguhnya kembali
kepada Tuhan, adalah orang yang sadar bahwa dirinya menyongsong “yaum
al-qiyamah”. Banyak orang yang mengira bahwa kebangkitan itu terjadi
setelah hancur-leburnya bumi atau semesta alam. Lalu, timbullah ilusi dan
khayalan tentang kiamat. Akhirnya, muncullah perilaku yang aneh-aneh. Terjebak
di perjalanan! Formalisme!
Kiamat
sebenarnya merupakan bagian dari kesadaran kita. “Wa bi l-akhiratihum
yuqinun,” dan mereka yakin terhadap kehadiran Hari Akhirat. Kapan adanya
Hari Akhir atau kiamat itu? Sekarang ini, saat ini! Tergantung pada yang
menyikapinya. Mari kita perhatikan ayat-ayat berikut ini.
42:17, Allah yang menurunkan Kitab dengan benar dan sebagai
Neraca. Tahukah engkau bahwa mungkin saja kiamat itu dekat?
42:18, Orang-orang yang tidak beriman ingin “Saat Kiamat” itu
disegerakan, dan orang-orang yang beriman justru waspada terhadapnya karena
mereka mengetahui bahwa kiamat itu benar adanya. Ketahuilah bahwa orang-orang
yang bertikai tentang “Saat Kiamat” adalah dalam kesesatan yang jauh.
16:77, Dan bagi Allah Yang Mahagaib di
langit dan di bumi, peristiwa kiamat itu akan datang dalam sekejap penglihatan
atau lebih cepat. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Pertama, kita harus tahu bahwa Tuhan telah
menurunkan Kitab-Nya di dunia ini dengan benar. Artinya, ada Undang-Undang bagi
kehidupan manusia. Kedua, dan Kitab itu pun berfungsi sebagai Neraca, yaitu
penimbang moralitas manusia. Dengan neraca itu manusia harus menegakkan
keadilan dalam hidup ini, “fairness”. Hidup yang tidak merugikan
diri-sendiri dan orang lain. Cara hidup yang demikian ini timbul karena
orang-orang beriman itu selalu waspada terhadap kehadiran kiamat pada dirinya.
Orang beriman mengetahui bahwa kiamat benar adanya. Jadi yakin terhadap Hari
Akhirat bukanlah percaya adanya Hari Akhirat, tetapi mengetahuinya. Karena tahu
itulah dia tidak ingin melanggar neraca tersebut, tidak ingin mencuranginya.
Inilah keadilan! Kecurangan akan menghalangi manusia dalam bertarekat.
Perbuatan curang senantiasa mendatangkan neraka kepada pelakunya.
Datangnya
kiamat itu sekejap mata atau lebih cepat. Dan datangnya pun boleh jadi sudah
dekat. Pernyataan surat 42:17 ini bukanlah sekadar kemungkinan, tetapi
betul-betul kenyataan bagi yang mengetahuinya. Tuhan tidaklah membuat puisi,
tapi memberikan informasi kepada manusia. Orang yang tidak beriman meminta
kiamat itu disegerakan, karena mereka tidak mengetahuinya. Bagaimana dapat
disegerakan, wong mereka itu tidak mengetahuinya? Bagaimana bisa diperbantahkan
wong mereka itu tidak mengetahuinya. Berbantah atau bertikai masalah datangnya
kiamat adalah mubazir, dan bahkan menyesatkan kita. Hari kiamat harus kita
alami untuk bisa menemui-Nya. Bukankah cepat atau lambat kita pasti
menemui-Nya.
Lalu,
bagaimana kalau kita tidak mau menemui-Nya? Sungguh malang orang yang tidak mau
bertemu dengan sumber hidupnya. Bukankah kita berasal dari-Nya, dan kembali
kepada-Nya? Nah, kita harus bisa kembali kepada-Nya dengan kesadaran dan bukan
dengan terpaksa! Kita harus merdeka dalam menyongsong kehadiran-Nya. Sungguh rugi
orang yang menolak untuk bertemu dengan-Nya. Karena menolak untuk bertemu
dengan Tuhan, berarti dia memilih hidup dalam ilusi atau impian semata. Hidup
di alam kebahagiaan semu! Seperti yang diungkapkan dalam surat 6:31, “Sungguh
merugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah, sehingga
apabila kiamat datang kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka mengatakan:
alangkah besarnya penyesalan kami karena kelalaian kami kepadanya.”
Coba
perhatikan ayat ini, di situ dijelaskan bahwa kiamat datang kepada mereka [yang
mendustakan] dengan tiba-tiba. Begitu mereka tersingkap dengan tiba-tiba
kesadarannya tentang hidup ini, maka yang ada adalah penyesalan. Yang dipikul
adalah kesengsaraan. Hanya karena lalai tentang hadirnya kiamat yang datang tiba-tiba
itu. Lain dengan orang beriman, dia selalu waspada. Orang-orang yang selalu
hidup murung, menderita dan merasa terus-menerus dalam kesengsaraan [bahkan
ada yang nekat bunuh diri karena tak kuat menanggung penderitaan hidup ini],
adalah contoh orang-orang yang kedatangan kiamat. Bila kiamat tidak datang
selama dia dalam hidup ini, maka kiamat pun akan datang setelah matinya. Hal
ini diungkap dalam surat 50:22, “Sungguh engkau berada dalam kelalaian
tentang [kematian] ini. Maka Kami singkapkan darimu apa yang menutupimu, dan
penglihatanmu pada hari ini sangat tajam.” Dengan demikian, tidak ada gunanya
melakukan rekayasa, tipudaya, atau “tricky” dalam hidup ini.
Tobat.
sans-serif;">
Langkah awal
dalam tarekat adalah “tobat” atau adanya kemauan untuk kembali
kepada-Nya. Bukan hanya mau ramai-ramai di jalan umum, tetapi adanya kemauan
untuk menempuh sendirian kepada-Nya. Bukan hanya menuntut ada teman yang
menyertai, tetapi berani melangkah sendirian. Nah, tahap ini disebut
“decondi-tioning” atau “takhalli”. Berhenti mengikuti arus massa. Bukan
melawan arus, tetapi menancapkan pendirian! Jadi, tobat di sini jangan
diartikan dengan “meninggalkan kejahatan atau kecurangan” yang pernah kita
lakukan. Kita tidak perlu berbuat curang untuk bisa bertobat. Tetapi kita
sengaja untuk memilih cara yang benar, kepatuhan yang benar. Inilah makna tobat
dalam tarekat!
Tobat dalam
tarekat berarti berketetapan untuk tidak mencuri, tidak berzina, tidak menipu,
tidak membohongi orang, tidak menganiaya siapa pun, tidak merugikan orang lain,
tidak menyakiti; atau dengan kata lain, menegasikan segala perbuatan dan
tindakan yang buruk atau jahat. Dalam syariat tobat adalah meninggalkan dan
tidak mengulangi perbuatan jahat yang telah diperbuat. Dalam tarekat tobat
berarti memilih untuk tidak berbuat jahat. Memilih untuk berbuat lurus! Tidak
berpedoman “tujuan menghalalkan segala cara”. Tujuan harus dicapai dengan cara
yang benar dan baik [Jawa, bener lan pener].
Memang berat
godaan bagi yang mengambil jalan lurus. Lebih-lebih bila kita sudah pernah
menikmati “yang bengkok” itu. Bisikan untuk mencecap dan mencicipi
kebengkokan itu datang bertubi-tubi. Bagaimana jalan keluarnya bila rayuan
setan ini berhembus di dalam hati kita? Bila sugesti setan [bisikan jahat]
datang bertubi-tubi ke dalam diri kita, maka kita harus segera berzikir,
bersegera untuk eling [sadar] dan waspada. Kita harus bebaskan pikiran
kita dari bisikan itu dan kita serahkan diri kita kepada-Nya. Kita harus yakin
bahwa Allah mendengarkan dan memperhatikan seruan kita. Kita harus yakin bahwa
Allah melindungi kita! Mengapa kita harus yakin? Karena kita telah memilih
jalan yang lurus, dan Allah senantiasa di jalan lurus. Di bawah ini ada
beberapa ayat yang menopang keyakinan untuk berbuat benar.
- 7:200, Jika setan mengganggu [mensugesti] engkau maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
- 7:201, Sesungguhnya orang-orang yang menjaga diri, apabila mereka tertimpa gangguan setan, mereka berzikir kepada Allah, dan ketika itu pula mereka melihat gangguan itu.
- 42:13, Berat bagi orang-orang yang menyekutukan Tuhan untuk menem-puh jalan yang diinformasikan kepada mereka. Allah menarik orang yang menghendaki jalan-Nya, dan memberi petunjuk kepada jalan-Nya bagi siapa yang kembali [kepada-Nya].
Dengan
berzikir kepada Allah, kita sebut nama-Nya dengan bahasa kita, bahasa yang kita
pahami dan keluar dari hati yang tulus. Misalnya, “Ya Tuhan, Pelindung
diriku, singkirkan gangguan setan itu dariku. Berilah aku kekuatan untuk
menempuh jalan-Mu. Sesungguhnya Engkaulah pemilik kekuatan yang sebenarnya.”
Ini hanyalah salah satu contoh saja dalam berdoa. Dalam berdoa tak ada
keharusan dalam ucapan bahasa Arab. Doa yang baik adalah doa yang kita mengerti
maksudnya dengan benar. Doa demikianlah yang ces pleng! Jangan ragu berdoa
dalam bahasamu yang keluar dari dalam lubuk hatimu. Dia Maha Mendengar dan Maha
Mengetahui!
Namun, bila
kita tidak terdidik dalam berdoa dengan menggunakan bahasa kita sendiri, kita
boleh menggunakan contoh-contoh doa dalam Al Quran atau Al Hadis. Bila kita
menggunakan doa dalam bahasa yang bukan bahasa kita sendiri, maka kita harus
belajar memahami makna dan maksudnya. Yang penting untuk diperhatikan,
janganlah pikiran kita dibebani dengan doa-doa. Pikiran kita harus dibebaskan
dari berbagai macam hal yang tidak diperlukan. Pikiran harus senantiasa dijaga
tetap segar dan jernih. Dalam kejernihan pikiran kita bisa melihat gangguan
setan.
Sebagaimana
yang diungkapkan oleh ayat 42:13, bila pikiran kita tetap mendua maka beratlah
jalan Ilahi yang hendak kita tempuh. Kita harus yakin bahwa jalan lurus [jalan
positif] yang kita pilih dan ikuti itu adalah jalan yang benar dan tepat.
Bila kita sungguh-sungguh menempuhnya niscaya Allah sendiri yang menarik kita
ke tengah jalan itu. Allah menghendaki orang yang menghendaki jalan-Nya. Inilah
maksud dari “Allahu yajtabi ilaihi man yasya-u” dalam ayat tersebut. Jadi, kata
“man yasya-u” tidak berarti Allah yang aktif dan manusianya pasif. Tetapi
interaktif antara “kawula” dan “Gusti”, hamba dengan Tuhan.
Wara’.
Kata “wara’”
dapat diterjemahkan dengan “hati-hati” atau waspada. Manusia yang tetap menjaga
dirinya di jalan yang benar, atau manusia bertakwa, adalah orang yang
senantiasa sadar dan waspada. Dengan eling dan waspada itu dia bisa melihat
gangguan setan. Bila kita bisa melihat bisikan setan, tentu kita dapat
menghindarinya. Sebaliknya, jika cuma meraba-raba dalam kegelapan, ada
kemungkinan terhanyut dalam bisikan itu. Dalam syariat wara’ berarti
berhati-hati dalam memilih makanan, dan berhati-hati dalam berbuat dan
bertindak. Sedangkan wara’ dalam tarekat artinya senantiasa sadar dan waspada.
Baik tobat
maupun wara’ adalah tahap “decondioning”, “takhalli”, atau usaha untuk
mengosongkan diri kita dari segala dorongan untuk berbuat jahat. Pada tahap ini
kita dituntut untuk selalu introspeksi maupun berani mengakui kesalahan yang
kita perbuat. Memang sulit rasanya bagi orang dewasa yang sudah terkontaminasi
atau tercemar kotoran dalam hidupnya, melakukan dekondisioning. Tetapi bagi yang
telah berketetapan hati, langkah awal ini harus dilalui. Harus ada tekad yang
bulat dan kuat. Dalam ayat 7:200 disebutkan, bila ada bisikan maka segeralah
berlindung kepada-Nya. Lalu dalam 7:201 dijelaskan bahwa begitu terkena
gangguan setan, maka harus segera berzikir, segera eling dan waspada! Dan dalam
42:13 disebutkan bahwa orang yang menghendaki jalan-Nya niscaya ditarik Allah
ke dalamnya. Lihat kembali ayat surat Al-‘Ankabut/29:69, “Dan orang-orang
yang bersungguh-sungguh menempuh jalan Kami, niscaya Kami tunjuki mereka
jalan-jalan Kami.”
Mengamalkan
Zikir
Dekondisioning
harus dilatih! Bagaimana caranya? Seperti yang dijelaskan dalam ayat 7:201,
dengan berzikir. Ada dua macam zikir, yaitu zikir dengan berbuat dan zikir
dengan bertindak. Pertama, zikir dengan berbuat artinya zikir tanpa tindakan.
Tindakannya hanya terjadi dalam diri orang yang melakukannya. Dalam zikir ini
kita dilatih untuk mengawasi ucapan kita sendiri dalam keadaan heneng atau
diam.
Dalam zikir
ini kita dilatih untuk mengawasi nafas kita sendiri. Zikir jenis inilah yang
dilakukan ketika seseorang melakukan shalat atau sesudah shalat. Jika di dalam
shalat, yang dilakukan adalah memperhatikan bacaan di dalamnya. Jika di luar
shalat zikir ini dilakukan dengan duduk relaks, atau duduk yang nyaman, dan
disertai ucapan kalimat thayyibat seperti subhanallah [Mahasuci Allah],
alhamdu lil-Lah [segala puji kepunyaan Allah], dan allahu akbar [Allah
Mahabesar].
Untuk
melatih kesadaran dan kewaspadaan kita terhadap kalimat thayyibat yang diucapkan,
dibuatlah pencacahan terhadap kalimat tersebut. Misalnya dengan mengucapkan
kalimat subhanallah dan alhamdulillah masing-masing 33x dan allahu akbar
diucapkan 34x sehingga banyaknya pengucapan kalimat tersebut 100 kali. Dengan
zikir ini kita dilatih untuk tetap sadar dan waspada. Pada tahap dekondisioning
ini semua pikiran yang kotor dikuras. Jadi, cara mengurasnya bukan dengan jalan
mengosongkan pikiran, tetapi dengan cara mengisinya dengan ucapan kalimat yang
baik. Dan, pengucapannya pun sekadar didengar telinganya sendiri!
Untuk
pelatihan tahap dekondisioning ini para murid [orang yang berkehendak] bisa
melatihnya di pagi hari setelah masuk shalat subuh. Latihannya harus dilakukan
dengan teratur, cermat, berhati-hati, tekun dan rajin. Misalnya, pelaksanaan
zikir ini ditetapkan selama empat puluh hari, setiap pagi. Diusahakan dilatih
dalam lingkungan yang hening, sepi. Atau, jika berbakat 10 hari sudah cukup.
Kedua, zikir dengan bertindak. Artinya,
ada aksi, ada tindakan! Begitu ada orang yang mengajak kolusi dalam pekerjaan
kita, ketika itu pula kita ingat untuk berusaha menghindarinya. Bila desakan ke
arah itu menguat, kita harus berani mengatakan kepadanya: tidak! Memang berat
mengamalkan zikir dengan bertindak. Karena zikir ini dihadapkan pada kenyataan.
Keadaan inilah yang mendorong guru tarekat mendirikan “jamaah tarekat”
atau organisasi tarekat. Dengan organisasi, kesulitan anggotanya bisa diatasi.
Jadi, kita jangan heran jika di dalam komunitas Islam hadir begitu banyak
tarekat. Dalam agama Kristen hadir banyak “gereja” untuk gembalanya. Di
Cina ada Zhuan Fa Lun atau gerakan meditasi “Fa Lun Qung”.
Sehingga buruh-buruh pabrik yang tadinya biasa “ngutil” produksi pabrik
tersebut, seperti handuk, sabun, sandal dll, setelah terlatih meditasi Fa Lun
mereka sadar dan mengembalikan hasil ngutilnya. Bahkan manajer pabrik sadar
dengan gerakan itu produktivitas pabrik meningkat. Tapi secara politis,
Pemerintah Cina terancam oleh gerakan ini.
Mulai saat
ini marilah kita praktikkan tarekat ini, dengan zikir berbuat dan zikir
bertindak. Jangan ada target dulu. Lebih baik kita merasa berlatih dulu
Langganan:
Postingan (Atom)