Syariat adalah jalan menuju sumber air kehidupan. Ia adalah jalan
umum, jalan yang ditempuh secara bersama-sama oleh suatu komunitas. Namun,
semakin dekat dengan sumber air itu, jalannya semakin sempit. Jalan yang hanya
cukup dilalui oleh dirinya. Jalan inilah yang disebut “tarekat” [thariqah].
Kalau
digambarkan hubungan antara syariat dan tarekat, dapat diumpamakan seseorang
yang mau nonton film di gedung bioskop. Ada syarat umum yang berlaku bagi yang
ingin menonton. Pertama, umur yang akan menonton, yang dalam bahasa agama ia
harus sudah akil-balig [sudah cukup umur dan berakal sehat]. Kedua,
orang tersebut harus punya karcis atau undangan menonton. Bila yang akan
menonton itu tidak diatur, maka mereka akan berebut beli karcisnya, atau
berebut masuk gedung pertunjukannya. Nah, antre agar bisa beli karcis dan masuk
satu per satu dapat dium-pamakan sebagai tarekat.
Dari syariat
ke tarekat tidaklah terputus begitu saja. Kedua jalan ini bersam-bungan, dari
jalan yang lebar kemudian menuju jalan yang lebih sempit. From the road of
life to the path of life. Dari jalan di luar diri menuju jalan di dalam
diri. Dari jalan raya masuk ke gang di mana rumah “Diri Sejati” berada.
Yaa, sebenarnya kita ini seperti orang-orang yang hendak pulang ke
masing-masing rumahnya. Karena rumah itu ada di dalam RT/RW yang sama, maka
mula-mula kita berjalan di atas jalan raya yang sama, dan selanjutnya berpisah
menuju gang-gang yang berbeda, akhirnya masuk ke rumahnya sendiri-sendiri. Di
rumah itulah Allah menyambut manusia secara perorangan. Seperti yang dinyatakan
dalam surat Maryam/19 : 93, 95,
- 93. In kullu man fi s-samawati wa l-ardhi illa ati r-rahmani ‘abda.
- 95. Wa kullu hum atihi yauma l-qiyamati farda.
- 93. Sungguh setiap diri, baik yang ada di langit maupun di bumi, akan datang kepada Yang Maha Pemurah sebagai seorang hamba.
- 95. Dan, setiap diri datang kepada-Nya pada hari kebangkitan sendirian.
Jadi,
meskipun di dalam syariat kita melakukan peribadatan yang sama, seperti shalat
berjamaah, puasa Ramadhan, dan ibadah Haji, tetapi jalan kepada-Nya betul-betul
kita tempuh sendirian. Syariatnya sama, tetapi tarekatnya berbeda. Karena
tarekat itu harus pas dengan orang yang menempuhnya. Tarekat harus mengarah
dengan tepat letak rumah yang dituju. Jika diumpamakan dengan orang yang akan
menonton film, kita ada di antrean yang sama, tetapi uang yang kita gunakan
untuk membayarnya atau nomor tempat duduknya berbeda sesuai dengan kenyamanan
diri kita masing-masing. Yang dituntut dalam syariat adalah keseragaman,
sedangkan yang dituntut dalam tarekat adalah keunikan.
Kembali
kepada perumpamaan di atas, setelah orang duduk dan menyaksikan filmnya, maka
penghayatan terhadap film itu pun berbeda-beda tergantung pada latar belakang
sang penonton, yaitu budaya, pengalaman, pengetahuan, dan kedalaman
rasa yang dimilikinya. Begitu pula ketika kita kembali kepada Tuhan,
setiap orang akan melihat filmnya sendiri. Penghayatan terhadap filmnya sendiri
itu tergantung pada amaliah, kebersihan dan kesucian batin yang bersangkutan.
Dan, pada saat dia menyadari filmnya, berarti dia sudah ada di tahap hakekat.
Tahap bangkitnya ke-sadaran diri. Tahap “yaum al-qiyamah”! Bila dia
sudah hidup di alam “qiyamah” maka dia sudah hidup di “maqam makrifat”.
Dia senantiasa tercerahkan! Dia tidak hidup lagi tergantung pada orang lain,
tidak terkolonisasi, hidup merdeka. Bahkan dia telah menjadi gantungan bagi
orang-orang lainnya.
Dengan
demikian, tasawuf sebenarnya mendidik orang untuk hidup mandiri, hidup merdeka,
hidup yang setara dengan orang lain. Hidup menjadi sufi sebenarnya adalah hidup
yang sepenuhnya menggantungkan diri kepada Yang Ilahi. Yang dengan kata lain,
disebut “hidup tawakal” atau “tawakkul”. Sebelum kita bisa hidup
hanya dengan menggantungkan diri kepada Tuhan, berarti kita belum hidup dalam
makrifat, meskipun secara teoritis kita sudah mempelajarinya. Tetapi belajar
adalah cara untuk mencapainya! Jadi, tidak perlu pesimis bila hari ini kita
masih dalam perjalanan untuk memperoleh “tirta prawitasari” atau sari
dari air suci, esensi kehidupan.
Orang yang
mampu melihat hakikat dirinya disebut “insan kamil” alias manusia
sempurna. Manusia yang merupakan wujud dari makrokosmos dan mikrokosmos. Dia
adalah miniatur dari Yang Haq, wujud mini dari Tuhan Yang Mahaesa. Nah,
perjalanan kita untuk menjadi miniatur-Nya adalah perjalanan kembali
kepada-Nya. Orang yang sadar bahwa dirinya dalam hidup ini sesungguhnya kembali
kepada Tuhan, adalah orang yang sadar bahwa dirinya menyongsong “yaum
al-qiyamah”. Banyak orang yang mengira bahwa kebangkitan itu terjadi
setelah hancur-leburnya bumi atau semesta alam. Lalu, timbullah ilusi dan
khayalan tentang kiamat. Akhirnya, muncullah perilaku yang aneh-aneh. Terjebak
di perjalanan! Formalisme!
Kiamat
sebenarnya merupakan bagian dari kesadaran kita. “Wa bi l-akhiratihum
yuqinun,” dan mereka yakin terhadap kehadiran Hari Akhirat. Kapan adanya
Hari Akhir atau kiamat itu? Sekarang ini, saat ini! Tergantung pada yang
menyikapinya. Mari kita perhatikan ayat-ayat berikut ini.
42:17, Allah yang menurunkan Kitab dengan benar dan sebagai
Neraca. Tahukah engkau bahwa mungkin saja kiamat itu dekat?
42:18, Orang-orang yang tidak beriman ingin “Saat Kiamat” itu
disegerakan, dan orang-orang yang beriman justru waspada terhadapnya karena
mereka mengetahui bahwa kiamat itu benar adanya. Ketahuilah bahwa orang-orang
yang bertikai tentang “Saat Kiamat” adalah dalam kesesatan yang jauh.
16:77, Dan bagi Allah Yang Mahagaib di
langit dan di bumi, peristiwa kiamat itu akan datang dalam sekejap penglihatan
atau lebih cepat. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Pertama, kita harus tahu bahwa Tuhan telah
menurunkan Kitab-Nya di dunia ini dengan benar. Artinya, ada Undang-Undang bagi
kehidupan manusia. Kedua, dan Kitab itu pun berfungsi sebagai Neraca, yaitu
penimbang moralitas manusia. Dengan neraca itu manusia harus menegakkan
keadilan dalam hidup ini, “fairness”. Hidup yang tidak merugikan
diri-sendiri dan orang lain. Cara hidup yang demikian ini timbul karena
orang-orang beriman itu selalu waspada terhadap kehadiran kiamat pada dirinya.
Orang beriman mengetahui bahwa kiamat benar adanya. Jadi yakin terhadap Hari
Akhirat bukanlah percaya adanya Hari Akhirat, tetapi mengetahuinya. Karena tahu
itulah dia tidak ingin melanggar neraca tersebut, tidak ingin mencuranginya.
Inilah keadilan! Kecurangan akan menghalangi manusia dalam bertarekat.
Perbuatan curang senantiasa mendatangkan neraka kepada pelakunya.
Datangnya
kiamat itu sekejap mata atau lebih cepat. Dan datangnya pun boleh jadi sudah
dekat. Pernyataan surat 42:17 ini bukanlah sekadar kemungkinan, tetapi
betul-betul kenyataan bagi yang mengetahuinya. Tuhan tidaklah membuat puisi,
tapi memberikan informasi kepada manusia. Orang yang tidak beriman meminta
kiamat itu disegerakan, karena mereka tidak mengetahuinya. Bagaimana dapat
disegerakan, wong mereka itu tidak mengetahuinya? Bagaimana bisa diperbantahkan
wong mereka itu tidak mengetahuinya. Berbantah atau bertikai masalah datangnya
kiamat adalah mubazir, dan bahkan menyesatkan kita. Hari kiamat harus kita
alami untuk bisa menemui-Nya. Bukankah cepat atau lambat kita pasti
menemui-Nya.
Lalu,
bagaimana kalau kita tidak mau menemui-Nya? Sungguh malang orang yang tidak mau
bertemu dengan sumber hidupnya. Bukankah kita berasal dari-Nya, dan kembali
kepada-Nya? Nah, kita harus bisa kembali kepada-Nya dengan kesadaran dan bukan
dengan terpaksa! Kita harus merdeka dalam menyongsong kehadiran-Nya. Sungguh rugi
orang yang menolak untuk bertemu dengan-Nya. Karena menolak untuk bertemu
dengan Tuhan, berarti dia memilih hidup dalam ilusi atau impian semata. Hidup
di alam kebahagiaan semu! Seperti yang diungkapkan dalam surat 6:31, “Sungguh
merugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah, sehingga
apabila kiamat datang kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka mengatakan:
alangkah besarnya penyesalan kami karena kelalaian kami kepadanya.”
Coba
perhatikan ayat ini, di situ dijelaskan bahwa kiamat datang kepada mereka [yang
mendustakan] dengan tiba-tiba. Begitu mereka tersingkap dengan tiba-tiba
kesadarannya tentang hidup ini, maka yang ada adalah penyesalan. Yang dipikul
adalah kesengsaraan. Hanya karena lalai tentang hadirnya kiamat yang datang tiba-tiba
itu. Lain dengan orang beriman, dia selalu waspada. Orang-orang yang selalu
hidup murung, menderita dan merasa terus-menerus dalam kesengsaraan [bahkan
ada yang nekat bunuh diri karena tak kuat menanggung penderitaan hidup ini],
adalah contoh orang-orang yang kedatangan kiamat. Bila kiamat tidak datang
selama dia dalam hidup ini, maka kiamat pun akan datang setelah matinya. Hal
ini diungkap dalam surat 50:22, “Sungguh engkau berada dalam kelalaian
tentang [kematian] ini. Maka Kami singkapkan darimu apa yang menutupimu, dan
penglihatanmu pada hari ini sangat tajam.” Dengan demikian, tidak ada gunanya
melakukan rekayasa, tipudaya, atau “tricky” dalam hidup ini.
Tobat.
sans-serif;">
Langkah awal
dalam tarekat adalah “tobat” atau adanya kemauan untuk kembali
kepada-Nya. Bukan hanya mau ramai-ramai di jalan umum, tetapi adanya kemauan
untuk menempuh sendirian kepada-Nya. Bukan hanya menuntut ada teman yang
menyertai, tetapi berani melangkah sendirian. Nah, tahap ini disebut
“decondi-tioning” atau “takhalli”. Berhenti mengikuti arus massa. Bukan
melawan arus, tetapi menancapkan pendirian! Jadi, tobat di sini jangan
diartikan dengan “meninggalkan kejahatan atau kecurangan” yang pernah kita
lakukan. Kita tidak perlu berbuat curang untuk bisa bertobat. Tetapi kita
sengaja untuk memilih cara yang benar, kepatuhan yang benar. Inilah makna tobat
dalam tarekat!
Tobat dalam
tarekat berarti berketetapan untuk tidak mencuri, tidak berzina, tidak menipu,
tidak membohongi orang, tidak menganiaya siapa pun, tidak merugikan orang lain,
tidak menyakiti; atau dengan kata lain, menegasikan segala perbuatan dan
tindakan yang buruk atau jahat. Dalam syariat tobat adalah meninggalkan dan
tidak mengulangi perbuatan jahat yang telah diperbuat. Dalam tarekat tobat
berarti memilih untuk tidak berbuat jahat. Memilih untuk berbuat lurus! Tidak
berpedoman “tujuan menghalalkan segala cara”. Tujuan harus dicapai dengan cara
yang benar dan baik [Jawa, bener lan pener].
Memang berat
godaan bagi yang mengambil jalan lurus. Lebih-lebih bila kita sudah pernah
menikmati “yang bengkok” itu. Bisikan untuk mencecap dan mencicipi
kebengkokan itu datang bertubi-tubi. Bagaimana jalan keluarnya bila rayuan
setan ini berhembus di dalam hati kita? Bila sugesti setan [bisikan jahat]
datang bertubi-tubi ke dalam diri kita, maka kita harus segera berzikir,
bersegera untuk eling [sadar] dan waspada. Kita harus bebaskan pikiran
kita dari bisikan itu dan kita serahkan diri kita kepada-Nya. Kita harus yakin
bahwa Allah mendengarkan dan memperhatikan seruan kita. Kita harus yakin bahwa
Allah melindungi kita! Mengapa kita harus yakin? Karena kita telah memilih
jalan yang lurus, dan Allah senantiasa di jalan lurus. Di bawah ini ada
beberapa ayat yang menopang keyakinan untuk berbuat benar.
- 7:200, Jika setan mengganggu [mensugesti] engkau maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
- 7:201, Sesungguhnya orang-orang yang menjaga diri, apabila mereka tertimpa gangguan setan, mereka berzikir kepada Allah, dan ketika itu pula mereka melihat gangguan itu.
- 42:13, Berat bagi orang-orang yang menyekutukan Tuhan untuk menem-puh jalan yang diinformasikan kepada mereka. Allah menarik orang yang menghendaki jalan-Nya, dan memberi petunjuk kepada jalan-Nya bagi siapa yang kembali [kepada-Nya].
Dengan
berzikir kepada Allah, kita sebut nama-Nya dengan bahasa kita, bahasa yang kita
pahami dan keluar dari hati yang tulus. Misalnya, “Ya Tuhan, Pelindung
diriku, singkirkan gangguan setan itu dariku. Berilah aku kekuatan untuk
menempuh jalan-Mu. Sesungguhnya Engkaulah pemilik kekuatan yang sebenarnya.”
Ini hanyalah salah satu contoh saja dalam berdoa. Dalam berdoa tak ada
keharusan dalam ucapan bahasa Arab. Doa yang baik adalah doa yang kita mengerti
maksudnya dengan benar. Doa demikianlah yang ces pleng! Jangan ragu berdoa
dalam bahasamu yang keluar dari dalam lubuk hatimu. Dia Maha Mendengar dan Maha
Mengetahui!
Namun, bila
kita tidak terdidik dalam berdoa dengan menggunakan bahasa kita sendiri, kita
boleh menggunakan contoh-contoh doa dalam Al Quran atau Al Hadis. Bila kita
menggunakan doa dalam bahasa yang bukan bahasa kita sendiri, maka kita harus
belajar memahami makna dan maksudnya. Yang penting untuk diperhatikan,
janganlah pikiran kita dibebani dengan doa-doa. Pikiran kita harus dibebaskan
dari berbagai macam hal yang tidak diperlukan. Pikiran harus senantiasa dijaga
tetap segar dan jernih. Dalam kejernihan pikiran kita bisa melihat gangguan
setan.
Sebagaimana
yang diungkapkan oleh ayat 42:13, bila pikiran kita tetap mendua maka beratlah
jalan Ilahi yang hendak kita tempuh. Kita harus yakin bahwa jalan lurus [jalan
positif] yang kita pilih dan ikuti itu adalah jalan yang benar dan tepat.
Bila kita sungguh-sungguh menempuhnya niscaya Allah sendiri yang menarik kita
ke tengah jalan itu. Allah menghendaki orang yang menghendaki jalan-Nya. Inilah
maksud dari “Allahu yajtabi ilaihi man yasya-u” dalam ayat tersebut. Jadi, kata
“man yasya-u” tidak berarti Allah yang aktif dan manusianya pasif. Tetapi
interaktif antara “kawula” dan “Gusti”, hamba dengan Tuhan.
Wara’.
Kata “wara’”
dapat diterjemahkan dengan “hati-hati” atau waspada. Manusia yang tetap menjaga
dirinya di jalan yang benar, atau manusia bertakwa, adalah orang yang
senantiasa sadar dan waspada. Dengan eling dan waspada itu dia bisa melihat
gangguan setan. Bila kita bisa melihat bisikan setan, tentu kita dapat
menghindarinya. Sebaliknya, jika cuma meraba-raba dalam kegelapan, ada
kemungkinan terhanyut dalam bisikan itu. Dalam syariat wara’ berarti
berhati-hati dalam memilih makanan, dan berhati-hati dalam berbuat dan
bertindak. Sedangkan wara’ dalam tarekat artinya senantiasa sadar dan waspada.
Baik tobat
maupun wara’ adalah tahap “decondioning”, “takhalli”, atau usaha untuk
mengosongkan diri kita dari segala dorongan untuk berbuat jahat. Pada tahap ini
kita dituntut untuk selalu introspeksi maupun berani mengakui kesalahan yang
kita perbuat. Memang sulit rasanya bagi orang dewasa yang sudah terkontaminasi
atau tercemar kotoran dalam hidupnya, melakukan dekondisioning. Tetapi bagi yang
telah berketetapan hati, langkah awal ini harus dilalui. Harus ada tekad yang
bulat dan kuat. Dalam ayat 7:200 disebutkan, bila ada bisikan maka segeralah
berlindung kepada-Nya. Lalu dalam 7:201 dijelaskan bahwa begitu terkena
gangguan setan, maka harus segera berzikir, segera eling dan waspada! Dan dalam
42:13 disebutkan bahwa orang yang menghendaki jalan-Nya niscaya ditarik Allah
ke dalamnya. Lihat kembali ayat surat Al-‘Ankabut/29:69, “Dan orang-orang
yang bersungguh-sungguh menempuh jalan Kami, niscaya Kami tunjuki mereka
jalan-jalan Kami.”
Mengamalkan
Zikir
Dekondisioning
harus dilatih! Bagaimana caranya? Seperti yang dijelaskan dalam ayat 7:201,
dengan berzikir. Ada dua macam zikir, yaitu zikir dengan berbuat dan zikir
dengan bertindak. Pertama, zikir dengan berbuat artinya zikir tanpa tindakan.
Tindakannya hanya terjadi dalam diri orang yang melakukannya. Dalam zikir ini
kita dilatih untuk mengawasi ucapan kita sendiri dalam keadaan heneng atau
diam.
Dalam zikir
ini kita dilatih untuk mengawasi nafas kita sendiri. Zikir jenis inilah yang
dilakukan ketika seseorang melakukan shalat atau sesudah shalat. Jika di dalam
shalat, yang dilakukan adalah memperhatikan bacaan di dalamnya. Jika di luar
shalat zikir ini dilakukan dengan duduk relaks, atau duduk yang nyaman, dan
disertai ucapan kalimat thayyibat seperti subhanallah [Mahasuci Allah],
alhamdu lil-Lah [segala puji kepunyaan Allah], dan allahu akbar [Allah
Mahabesar].
Untuk
melatih kesadaran dan kewaspadaan kita terhadap kalimat thayyibat yang diucapkan,
dibuatlah pencacahan terhadap kalimat tersebut. Misalnya dengan mengucapkan
kalimat subhanallah dan alhamdulillah masing-masing 33x dan allahu akbar
diucapkan 34x sehingga banyaknya pengucapan kalimat tersebut 100 kali. Dengan
zikir ini kita dilatih untuk tetap sadar dan waspada. Pada tahap dekondisioning
ini semua pikiran yang kotor dikuras. Jadi, cara mengurasnya bukan dengan jalan
mengosongkan pikiran, tetapi dengan cara mengisinya dengan ucapan kalimat yang
baik. Dan, pengucapannya pun sekadar didengar telinganya sendiri!
Untuk
pelatihan tahap dekondisioning ini para murid [orang yang berkehendak] bisa
melatihnya di pagi hari setelah masuk shalat subuh. Latihannya harus dilakukan
dengan teratur, cermat, berhati-hati, tekun dan rajin. Misalnya, pelaksanaan
zikir ini ditetapkan selama empat puluh hari, setiap pagi. Diusahakan dilatih
dalam lingkungan yang hening, sepi. Atau, jika berbakat 10 hari sudah cukup.
Kedua, zikir dengan bertindak. Artinya,
ada aksi, ada tindakan! Begitu ada orang yang mengajak kolusi dalam pekerjaan
kita, ketika itu pula kita ingat untuk berusaha menghindarinya. Bila desakan ke
arah itu menguat, kita harus berani mengatakan kepadanya: tidak! Memang berat
mengamalkan zikir dengan bertindak. Karena zikir ini dihadapkan pada kenyataan.
Keadaan inilah yang mendorong guru tarekat mendirikan “jamaah tarekat”
atau organisasi tarekat. Dengan organisasi, kesulitan anggotanya bisa diatasi.
Jadi, kita jangan heran jika di dalam komunitas Islam hadir begitu banyak
tarekat. Dalam agama Kristen hadir banyak “gereja” untuk gembalanya. Di
Cina ada Zhuan Fa Lun atau gerakan meditasi “Fa Lun Qung”.
Sehingga buruh-buruh pabrik yang tadinya biasa “ngutil” produksi pabrik
tersebut, seperti handuk, sabun, sandal dll, setelah terlatih meditasi Fa Lun
mereka sadar dan mengembalikan hasil ngutilnya. Bahkan manajer pabrik sadar
dengan gerakan itu produktivitas pabrik meningkat. Tapi secara politis,
Pemerintah Cina terancam oleh gerakan ini.
Mulai saat
ini marilah kita praktikkan tarekat ini, dengan zikir berbuat dan zikir
bertindak. Jangan ada target dulu. Lebih baik kita merasa berlatih dulu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar