Bumi, rembulan dan planet-planet lain di tatasurya
ini beredar dalam keseimbangan dan pada batas-batas orbit yang tepat. Begitu
pula semua bintang di alam raya ini berjalan dalam keseimbangan. Ini tidak
berarti tidak ada penyimpangan. Ada penyimpangan itu! Seperti jatuhnya meteor
atau komet pada planet. Penyimpangan itu tidak menghancurkan tatasurya selama “mizan”
atau keseimbangan alam itu tidak terlampaui.
Kehidupan
masyarakat manusia di bumi ini juga mengikuti hukum keseimbangan. Manusia harus
menjaga keseimbangan itu. Itulah sebabnya di dalam Al Quran banyak peringatan
untuk tidak merusak bumi ini. Merusak bumi (termasuk atmosfernya) adalah
perbuatan merusak keseimbangan alam. Akhirnya, proses peretumbuhan dan
perkemba-ngan manusia dalam perjalanan menuju Tuhannya yang mengalami
kerusakan. Alam dibuat Tuhan untuk tidak mentolerir perbuatan yang merusak.
Jika manusia telah rusak perilakunya, maka alam dengan segera memberi
jawabannya yang berupa bencana dan mala petaka. Dalam surat al- A‘raf/7:55-56
manusia diperingatkan,
55. Ud-‘u
rabbakum tadharru-‘an wa khunyatan innahu la yuhibbu l-mu‘tadin. ( Mohonlah kepada Tuhanmu dengan
merendahkan diri dan dengan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orangyang melanggar batas. )
56. Wa la
tufsidu fi l-ardhi ba‘da islahiha wa d-‘uhu khaufan wa thama-‘an inna rahmata
llahi qaribun mina l-muhsinin. ( Dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di bumi setelah diperbaikinya. Dan mohonlah kepada-Nya dengan penuh
kesadaran dan penuhharapan. Sesungguh-nya rahmat Allah itu dekat dengan
orang-orang yang berbuat ‘ihsan’.)
Telah
difahami bahwa “iman dan amal saleh” [imas] itu satu paket. Sering imas
ini dinyatakan sebagai ‘kesalehan’ saja. Kesalehan diartikan dengan segenap
tindakan yang memberikan manfaat bagi kehidupan. Kebalikannya adalah “fasad”
atau kebusukan, kerusakan atau immoralitas. Nah, kebusukan atau kerusakan
inilah yang sebenarnya disebut sebagai kekafiran. Kafir berasal dari kata “ka-fa-ra”
yang artinya menutupi, menyembunyikan atau mengingkari kebenaran. Ketika Nabi
Muhammad Saw di Mekah, kafir dalam pengertian menutupi atau mengingkari
kebenaranlah yang menjadi sasaran dakwah beliau. Kaum kafir yang menjadi
sasaran peringatan beliau adalah mereka yang melanggar batas seperti dalam ayat
55 di atas atau mereka yang melakukan kerusakan di bumi (ayat 56). Dan ayat
tersebut memang diturunkan di Mekah.
Jadi, pada
mulanya kekafiran itu tak ada kaitannya dengan agama lain. Ketika beliau masih
di Mekah, beliau mengajarkan agama itu kepada kaum jahil yang hidup di kawasan
Mekah dan sekitarnya. Berdasarkan sejarah, kaum jahil ini tidak mengerti
batas-batas tatakrama kehidupan atau kemanusiaan. Padahal, jika manusia itu
tidak mengerti batas kemanusiaannya, manusia akan mudah terjerumus ke dalam
perbuatan nista atau zalim, aniaya. Konsekuensi perbuatan aniaya adalah
perbuatan yang merusak kehidupan di bumi ini. Cobalah kita perhatikan ekploitasi
sumber daya alam di bumi Indonesia ini. Hutan gundul, sampah menggunung, limbah
beracun tak tertimbun adalah akibat adanya pelanggaran batas (keseimbangan).
Buahnya adalah kerusakan lingkungan hidup. Dan, akibatnya bencana dan mala
petaka datang silih berganti.
Ketika
beliau di Madinah, bangunan umat Islam yang baru berdiri ini mengalami gempuran
dari pihak Kafir Qureisy dari Mekah. Nabi mampu menyatukan orang Arab Madinah
dari klan Aus dan Khajrad yang senantiasa bertikai, yang digambarkan di dalam
Al Quran sebagai orang-orang yang berada di tepi neraka. Di Madinah pada waktu
itu hidup orang-orang non-Arab yang berkitab (Yahudi, dan Nasrani dari salah
satu sekte agama Kristen). Bahkan orang Yahudi dapat dikatakan sudah mantap
hidup di sana. Semula ajaran Islam ini disampaikan kepada suku-suku Arab yang
tinggal di Madinah dan sekitarnya. Kemungkinan timbulnya konflik antara mereka
dan orang-orang Islam telah dicermati oleh beliau. Dalam keadaan demikian ini
tentu saja Nabi memberi peringatan kepada semua pihak yang hidup di Madinah,
agar masing-masing pihak bisa menjaga hak-haknya dan saling melindungi tanpa
memperhatikan agamanya. Ajaran ini dirangkum dalam “Piagam Madinah”.
Orang-orang
Yahudi yang semula dipandang tinggi statusnya oleh orang-orang Arab, dengan
datangnya agama baru ini, mereka merasa kehilangan pengaruhnya. Hasutan-hasutan
mulai dilancarkan. Konflik tak dapat dihindari lagi. Ajaran yang nuansanya
universal ini harus diimplementasikan secara riil di Madinah. Kota yang menjadi
basis perkembangan agama Islam ini tentu saja harus dijaga keamanan dan
kedamaiannya agar ajaran Al Quran tetap bisa didakwahkan. Kelompok-kelompok
agama lain yang sudah mapan ini diminta untuk tetap teguh memegang kebenaran
kitabnya [dalam bahasa sekarang, tidak boleh plin-plan]. Ajakan untuk
memelihara hak, menjaga batas, tak digubris lagi oleh mereka. Akhirnya, lahir
kenyataan baru, yaitu orang-orang yang berkitab yang tidak bisa menerima
kebenaran yang disampaikan oleh Nabi. Inilah yang disebut “orang-orang kafir
dari golongan yang berkitab.
Jadi, pada
mulanya kekafiran itu hanya terbatas bagi mereka yang melakukan kerusakan di
bumi atau mereka yang mengingkari kebenaran. Selanjutnya kekafiran itu juga
diatributkan bagi pemeluk agama lain yang tidak mau mengerti terhadap hak-hak
yang dimiliki oleh umat Islam. Hal ini bisa dibaca pada surat
al-Bayyinah/98:1-7. Kesimpulannya, orang kafir adalah orang yang mengingkari
kebenaran dan melakukan kerusakan di bumi. Tak peduli agama apa dia.
Kembali
kepada ayat di atas. Manusia diperintah untuk memohon kepada Tuhan dengan cara
merendahkan diri, suara yang lembut, penuh kesadaran dan penuh harapan. Inilah
tatakrama dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Merendahkan diri artinya bersikap
rendah hati, merasa tak punya apa-apa. Karena pemilik yang sebenarnya dari
semua ini adalah Allah. Kalau diumpamakan “gentong” maka kita harus
merasa sebagai gentong yang kosong, yang siap diisi. Suara yang dibunyikan
harus lembut! Cuma didengar oleh telinganya sendiri. Inilah prinsip zikir!
Selanjutnya, permohonan itu harus dikerjakan dengan penuh kesadaran. Artinya,
harus tumbuh dari hati dan pikiran yang jernih. Dan, terakhir ditopang oleh
keyakinan yang kuat akan dikabulkannya permohonan itu.
Ingat,
rahmat Tuhan itu akan hinggap pada orang-orang yang berbuat ihsan. Suatu
perbuatan yang tumbuh dari hati yang murni. Suatu perbuatan yang tidak
distimulasi oleh keinginan yang melanggar batas. Perbuatan yang tidak dilandasi
oleh dorongan untuk mengeksploitasi bumi. Hanya sebatas yang diperlukan! Hanya
mengambil manfaat untuk kehidupan. Bukan untuk kemubaziran atau pemborosan
dalam hidup ini. Memang hal ini tampak seperti bertentangan terhadap prinsip “pemasaran”.
Tetapi sebenarnya kita ini diingatkan agar menjaga kesejahteraan alam ini demi
anak-cucu dan kemanusiaan kita. Apalah artinya kita sekarang hidup bergelimang
harta, tetapi di masa depan kita mengalami ketekoran hidup. Karena energi
semesta sudah kita hutang sekarang ini, sehingga di masa depan kita tekor
karena harus membayarnya.
Di dalam
surat al-Isra’/17:26-29 dinyatakan,
26. Berikan
kepada sanak kerabat akan haknya. Juga kepada orang-orang miskin dan ibnu
sabil. Dan janganlah menghambur-hamburkan harta secara boros.
27.
Sesungguhnya para pemboros (mubazirin) adalah saudara setan, dan setan itu
senantiasa mengingkari Tuhan.
28. Apabila
kamu tidak bersedia untuk memberi mereka karena engkau mengharapkan mendapat
rahmat dari Tuhan, maka katakanlah kepada mereka dengan ucapan yang lemah
lembut.
29.
Janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu, dan jangan pula terlalu
mengulurkannya sehingga kamu menjadi tercela dan menyesal.
Sebelumnya
telah diterangkan bahwa syariat itu untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan
manusia lahir dan batin. Syariat atau sembah raga ini meliputi pelayanan di antara
sesama dan pelatihan pribadi dalam berhubungan dengan Tuhan. Dengan kata lain,
sembah raga itu ada yang berwujud pelayanan riil di antara sesama manusia, dan
ada pula yang berupa pelatihan diri untuk penyatuan diri dengan Yang Mahaesa.
Jangan salah paham lho! Dari segi aspek realitas, kita itu senantiasa bersama
dan berada di dalam Tuhan. “Dan Dia senantiasa bersama kamu di mana saja
kamu berada. (QS 57:4). Nah, penyatuan diri adalah upaya untuk kembali
kepada Tuhan, wa inna ilaihi raji-‘un.
Dengan terciptanya
masyarakat yang anggota-anggotanya saling melayani, maka terwujudlah azas
manfaat. Syariat atau sembah raga untuk menuju masyarakat shalihin. Masyarakat
yang di dalamnya merupakan wujud pluralitas sejati. Perbedaan agama,
kepercayaan, dan etnis tidak menghalangi untuk bisa hidup saling melayani dalam
mewujudkan masyarakat yang damai [QS 2:62, dan 5:69]. Semua pihak dituntut
untuk mengutamakan kesalehan dan rendah hati! Karena
itu jangan
berisik, kalau bersuara bersuaralah yang lemah lembut. Kesadaran dalam berzikir
[sembahyang] diterapkan dalam kehidupan sosial. Bila dalam berdoa kepada Tuhan
harus dilandasi dengan harapan, begitu pula dalam kehidupan bersama. Kita harus
punya keyakinan bahwa pelayanan yang tulus di antara sesama akan berbuah kesejahteraan
dan kedamaian bersama. Duri-duri kecurigaan harus disingkirkan.
Nah, untuk
membentuk masyarakat shalihin, kita harus bisa menghormati hak-hak kerabat kita
sendiri, orang-orang miskin dan ibnu sabil. Ini adalah syariat dasar yang
dikumandangkan sejak di Mekah. Seruan ini di Madinah nantinya diwujudkan dalam
bentuk “zakat” dalam pengertian sedekah. Seperti yang telah dibuktikan
oleh sejarah, masalah ekonomi adalah hal yang menentukan sejarah manusia dan
kemanusiaan. Tak ada agama yang tidak menempatkan dana atau sedekah sebagai
syariat dasarnya. Islam yang diklaim sebagai agama terakhir pun menempatkannya
sebagai salah satu sendi syariatnya. Sesuai dengan perkembangan agama,
implementasi sedekah atau dana ini tergantung pada keadaan perekonomian manusia.
Mula-mula sedekah itu berupa anjuran untuk memberikan sebagian harta kepada
yang miskin. Kemudian berkembang menjadi kewajiban, dan yang disedekahkan pun
ada takarannya, misalnya 10% dalam agama Kristen, 2,5% dalam agama Islam. Namun
demikian, banyaknya harta yang harus dizakatkan tidak diatur di dalam Al Quran.
Pihak penerima zakat yang dicantumkan di dalam Al Quran.
Pada
ayat-ayat di atas ditekankan sekali agar kita mampu memelihara harta benda yang
dikaruniakan oleh Tuhan dengan sebaik-baiknya. Pemboros dan kikir sama-sama
harus dijauhi. Karena keduanya adalah perbuatan setan. Keduanya merupakan
produk hati yang gelap dan pikiran yang keruh. Kegelapan dan kekeruhan
senantiasa menjauhkan kita dari Tuhan. Ya, setan itu selalu mengingkari
kebenaran. Manusia harus pandai-pandai untuk mengambil jalan tengah. Boros
hakekatnya menghambur-hamburkan energi yang disediakan Tuhan di alam ini. Kikir
berarti menyembunyikan anugerah Tuhan yang diberi-kan kepada manusia, yang
seharusnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan hidupnya. Baik boros maupun kikir,
keduanya adalah perbuatan tercela , yang pada akhirnya menyebabkan manusia
hidup menyesal alias menderita.
Apa yang
diuraikan ini masih pada tahap sembah raga. Landasan untuk menempuh tingkatan
hidup yang lebih tinggi. Kalau dalam bahasa tasawuf Timur Tengah, ada empat
tahapan yang harus ditempuh manusia untuk bisa kembali kepada Tuhan Yang
Mahaesa. Yaitu, dari syariat, tarekat, hakekat, hingga makrifat. Yang dalam
bahasa tasawuf Jawa disebut sebagai sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan
sembah rasa. Yang kesemuanya ini disebut sebagai catur sembah. Baik makrifat
ataupun sembah rasa adalah tahapan manusia untuk dapat mengenal Diri sejatinya.
Dengan mengenal Diri Sejatinya manusia akan kenal dengan Tuhannya. Ingat bunyi
Hadis, “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu,” barangsiapa
yang mengenal dirinya niscaya akan kenal dengan Tuhannya.
Di tahap
syariat, yang dinamakan orang miskin adalah orang yang kekurangan harta benda.
Orang ini mempunyai pekerjaan tetapi tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya. Yang lebih rendah dari orang miskin adalah “fakir”, kaum papa.
Orang yang betul-betul tidak mampu memenuhi keperluan hidupnya. Nah, di banyak
ayat sering miskin dan fakir ini disebut “miskin” saja. Orang Indonesia
biasa menyebutnya fakir-miskin. Agar tidak menimbulkan problema kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat, mereka yang miskin ini harus ditanggulangi. Ketika
struktur ekonomi masih sederhana, menyantuni mereka dengan zakat sedekah sudah
cukup. Namun ketika struktur ekonomi menjadi semakin kompleks, pemecahannya
tidak cukup dengan zakat sedekah. Artinya, kemiskinan tak akan bisa dipecahkan
hanya di tahap syariat.
Lalu harus
dipecahkan dengan cara apa? Di sinilah kita dituntut untuk meningkatkan
kualitas sembah atau ibadat kita. Kita tak boleh mandeg atau cuma berhenti di
syariat. Kita harus memahami sumber kemiskinan yang lebih dalam. Kita tidak
cukup hanya melihat kemiskinan dari segi tidak adanya pekerjaan, lemahnya
ketrampilan, atau rendahnya pendidikan. Kemiskinan harus dilihat dari sumbernya
yang lebih dalam, yaitu kemiskinan budi pekerti atau akhlak. Ya, kemiskinan di
tingkat ihsan atau jiwa. Jika di dalam umat ini terlalu banyak orang yang
miskin jiwanya, maka jangan heran bila timbul kemiskinan lahiriah yang luar
biasa. Jadi, perintah untuk tidak hidup boros atau kikir adalah untuk
menanggulangi terjadinya kemiskinan.
Lho, apa
hubungannya boros dan kikir dengan kemiskinan? Di atas telah dijelaskan bahwa
boros itu menghambur-hamburkan energi. Energi itu dihamburkan untuk memenuhi
kepentingan sendiri, atau buat kesenangan egonya. Akibatnya, di tempat atau
kelompok lain akan timbul kekurangan. Muncul kemewahan pada kelompok tertentu,
dan timbul kemiskinan pada banyak kelompok lain. Begitu pula kekikiran!
Kekikiran menyebabkan terakumulasinya energi pada orang atau kelompok tertentu,
tetapi tidak dimanfaatkan. Energi itu tidak didistribusikan, hanya ditimbun
saja. Terjadilah kebuntuan aliran energi di tengah masyarakat. Yang tidak
teraliri mengalami kemiskinan. Nah, ternyata sumber kemiskinan itu keborosan
dan kekikiran. Sedangkan boros dan kikir itu timbul dari kemiskinan budi atau
jiwa. Boros dan kikir itu setan, perbuatan yang menjauhkan diri dari kebenaran
atau mengingkari Tuhan. Jadi, pemboros dan orang kikir adalah saudara setan.
Orang tidak bertindak boros atau kikir bila keihsanan telah tumbuh di dalam
jiwa orang tersebut.
Ihsan adalah
tahap yang lebih tinggi dari Islam dan Iman. Ihsan ada di wilayah sembah jiwa.
Suatu wilayah di tahap akhir sebelum memasuki tahap sembah rasa. Bila di tahap
syariat orang harus bisa menampilkan kesejahteraan ragawi, di tahap tarekat
atau sembah cipta manusia harus bisa hidup dalam kedamaian hati. Kenikmatan
yang diperoleh tidak lagi pada banyaknya harta benda. Kemudian masuk ke tahap
sembah jiwa atau dunia ihsan, dunia ketulusan hati. Memasuki alam kesadaran
untuk duduk bersimpuh di hadirat Ilahi. Kenikmatan yang diperoleh berupa
kesempurnaan diri. Di tahap ini manusia mulai mampu menimbang hakikat yang
terjadi.
Mengapa sih
bicara tentang syariat, keborosan dan kekikiran dihubungkan dengan energi? Di
sinilah kita harus tahu! Bahwa hidup ini berkaitan dengan aliran energi. Badan
kita ini sebenarnya hanyalah ibarat kabel yang dilalui energi. Sedangkan
harta-benda, warna, cahaya dan lain-lainnya adalah bentuk-bentuk energi. Karena
itu jangan heran bila secara alami manusia tertarik pada harta benda. Harta
benda adalah bentuk energi yang paling kasar. Pintu masuknya ke dalam diri kita
adalah indera jasmani. Kekurangan energi menimbulkan kelemahan atau penderitaan
jasmani, seperti lapar, haus, sakit, dan derita jasmani lainnya. Bila energi
ini kita peroleh, maka kita terpuaskan atau menjadi sehat.
Bagaimana
bila energi kita serap banyak-banyak sehingga melebihi kapasitas jasmani kita?
Jasmani manusia memiliki daya tampung. Jika daya tampungnya terlampaui, maka
akan terjadi penimbunan. Timbunan-timbunan ini akan menghambat atau menghalangi
aliran energi di dalam tubuh. Akibatnya, timbul sakit pada jasmani. Agar tidak
tertimbun, maka energi ini kita alirkan keluar. Misalnya, berupa banyak
bergerak [pekerjaan fisik, olah raga, salat, dll], marah-marah, dan aktivitas
seksual. Tentu saja penyaluran energi dengan marah-marah adalah perbuatan
negatif. Nah, bila kelebihan energi ini bisa mengalir keluar dengan mulus, maka
manusianya menjadi terpuaskan.
Perlu
diperhatikan, kelebihan energi bendawi (selama badan sehat) akan meningkatkan
aktivitas seksual. Dan ini memang jalur alami pada makhluk hidup. Hanya saja
pada manusia bila kelebihan energi ini tidak dikontrol dengan baik,
penyalurannya menjadi tidak seimbang, yaitu lebih banyak melalui aktivitas
seksual. Akibatnya, aktivitas seksual yang secara alaminya suci, menjadi
terkontaminasi sehingga menjadi aktivitas yang negatif. Nah, syariat sebenarnya
mengatur masuk-keluarnya energi bendawi secara sehat. Jadi, bila ada orang yang
mudah marah, itu tandanya kelebihan energi bendawi atau terjadi penyumbatan
energi di dalam tubuh.
Secara
individual boros berarti menyerap energi harta benda secara berlebih-lebihan,
sehingga banyak pihak yang menderita kekurangan energi. Orang boros menyebabkan
ketekoran energi pada pihak lain, dan membuat ketekoran energi pada dirinya di
masa depannya. Karena itu orang yang boros akan mengalami penderitaan. Orang
kikir banyak mengumpulkan energi. Karena tak disalurkan, dan cuma ditimbun,
maka akan menimbulkan sumbatan energi dalam hidupnya. Penyakit jasmani pun akan
timbul. Akibatnya, orang yang kikir juga mengalami penderitaan. Ia akan
menderita karena energi itu tidak dimanfaatkan dengan benar. Dan dalam
masyarakat keborosan dan kekikiran akan menimbulkan kemiskinan. Yang pada
akhirnya menimbulkan bencana dan malapetaka.
Zakat
sedekah adalah sarana untuk mencegah timbulnya keborosan dan kekikiran harta
benda. Memang ini merupakan langkah pertama untuk mengendalikan kemiskinan
dalam suatu negara. Hal ini diungkapkan dalam surat at-Taubah/9:103,
Pungutlah
zakat sedekah dari sebagian harta benda mereka. Dengan zakat itu engkau
membersihkan dan menyucikan. Dan mohonkan rahmat bagi mereka. Sesungguhnya
permohonanmu itu menentramkan jiwa mereka. Allah Maha Mendengar dan Maha
Mengetahui.
Jadi, dengan
zakat itu kemungkinan terjadinya penyumbatan energi bendawi di dalam masyarakat
dicegah. Masyarakat dibersihkan dari berbagai macam penyakit. Namun, bila
serangan penyakit terlalu berat dan terlalu kompleks, zakat tak akan sanggup
menyehatkannya. Harus ada upaya tarekatnya, atau sembah ciptanya. Mengenai
pihak-pihak yang secara fisikal berhak menerima zakat sedekah akan dibahas pada
materi tasawuf yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar