Selasa, 15 Mei 2012

KAMPUNG ISLAM DI LEMBATA

Kampung Islam di Lembata 11 January 2012 Belum lama ini (30/12/2011), saya mengunjungi Desa Palilolon, Kecamatan Ileape, Kabupaten Lembata, NTT. Saya ditemani Mama Siti Manuk, adik kandung mendiang mama saya. Palilolon merupakan salah satu dari dua desa muslim di Kecamatan Ileape. Boleh dikata 100% penduduk Palilolon dan Kolipadan, kampung tetangga, beragama Islam. Ini menarik karena warga desa-desa lain di Lembata hampir semuanya Katolik. Di kampung halaman kami memang hanya ada dua agama: Katolik dan Islam. Agama Kristen Protestan atau Pentakosta atau Adven dan sejenisnya tidak ada. Meski berbeda agama, orang Lembata sangat rukun. Ada ikatan kekerabatan yang sangat erat sebagai sesama orang Lamaholot. Bahasa, adat, gaya hidup, pola pikir... tak ada beda. Terletak di antara hutan bakau dengan pasir yang halus, kampung Palilolon ini sebenarnya sangat indah. Orang-orangnya pun sangat ramah. Semua kampung Islam di Lembata dan Flores Timur memang berada di pesisir pantai. Karena itu, orang Islam biasa disebut WATANEN dalam bahasa Lamaholot. WATAN berarti pantai. Sebaliknya, orang Katolik disebut KIWANEN yang artinya orang gunung. Orang WATANEN alias Islam di bumi Lamaholot ini sejak dulu dikenal sebagai pelaut yang ulung. Mereka piawai menyelam di laut yang cukup dalam meski tanpa bantuan peralatan memadai. Mama Siti Lebaur kaget bukan main ketika saya nongol di rumahnya. Saat itu tante saya ini sedang membuat jagung titi di dapur. Seakan tak percaya ada 'orang Jawa' mampir ke rumahnya. Meski banyak menghasilkan ikan dan rumput laut, dua kampung Islam ini punya masalah air minum. Air tawar tak ada. Air sumurnya malah lebih asin dari air laut di Jawa, begitu guyonan saya. Karena itu, sejak dulu warga harus jalan kaki jauh untuk menimba air sumur. Kalau punya uang bisa beli air tangki yang dijual beberapa pedagang dari Lewoleba. Tapi orang Palilolon enjoy aja dengan krisis air bersih ini. Syukurlah, beberapa tahun lalu ada bantuan bak atau tandon air dari pemerintah. Tandon dipasang di bawah cucuran atap untuk menampung air hujan. Warga pun kini terbiasa minum air hujan dan tak lagi kehausan. Tandon 3000 liter di setiap rumah itu jadi solusi yang mujarab. Sekitar tahun 2000 warga kampung Islam ini sempat kipas-kipas uang. Panen raya rumput laut yang membuat penghasilan mereka jauh lebih banyak ketimbang jadi nelayan atau petani biasa. Anak-anak muda beli motor baru, bisa bangun rumah, beli tv plus parabola. Sayang, sejak 3 tahun terakhir rumput laut ini rusak. Panenan pun sepi. Maka, sebagian warga kembali lagi menggarap ladang jagung yang sempat ditelantarkan selama beberapa tahun. "Langgara kamen data laga gohuk. Heloka nolo hala," kata Mama Siti Lebaur dalam bahasa daerah. Artinya, saat ini budi daya rumput laut sudah rusak. Tidak seperti dulu. Azan magrib pun terdengar. Warga Pailolon, yang baru saja menyaksikan pertandingan bola di kampung tetangga, kalah 1-4, bersiap menunaikan salat. Mesin genset pun dihidupkan untuk menerangi kampung bakau yang sudah mulai gelap. Saya minta diri pulang bersama Mama Siti Kasa sambil membawa oleh-oleh segepok ikan kering dan gurita. Posted by Lambertus Hurek at 7:47 PM Sumber: http://hurek.blogspot.com/2012/01/kampung-islam-di-lembata.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar