Kamis, 01 Desember 2011

Hijrah dari Introspeksi Hingga Reformasi

Home » Opini
Hijrah, dari Introspeksi Hingga Reformasi
Sriwijaya Post - Jumat, 2 Desember 2011 08:41 WIB
H Abdul Rahman S.Ag, M.Pdi

“Siapa yang berpindah pada jalan Allah, niscaya akan diperolehnya di bumi ini (tempat ia pindah) rezeki yang banyak (dan ketentraman). Siapa yang keluar rumahnya untuk hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian ia meninggal (di tengah jalan), maka sesungguhnya pahalanya sudah dijamin Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nisaa’ (4):100).

SETIAP tahun umat Islam di seluruh dunia menyambut baik dan hangat serta sukacita peringatan Tahun Baru Hijriah (1 Muharam). Kendati sambutannya tidak terlalu semarak jika dibandingkan dengan peringaatan Tahun Baru Masehi (1 Januari). Sungguhpun demikian, sebagian umat Islam masih memiliki perasaan keagamaan yang kuat sehingga mereka memperingatinya dengan zikir dan pikir serta penuh optimisme sembari berharap ada perubahan hidup ke arah yang lebih baik pada masa yang akan datang.

Bagi umat Islam, bulan Muharam memiliki makna yang sangat besar dalam sejarah penyelamatan akidah umat, yakni saat Rasulullah SAW mengawali hijrah dari Makkah ke Madinah Al-Munawarah. Peristiwa yang terjadi pada tahun 622 M itu adalah awal mula ditetapkannya kalender hijriah yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Karena itu, setiap tanggal 1 Muharam ditetapkan sebagai awal Tahun Baru Islam.

Perhitungan tahun hijriah didasarkan pada peredaran rembulan mengelilingi bumi. Maka itu disebut juga Kalender Qamariyah. Satu kali peredarannya rata-rata 29 hari 12 jam 44 menit dan 2,5 detik. Jadi dalam 12 bulan atau satu tahun rata-rata 354 hari 8 jam 48 menit dan 30 detik.

Dengan demikian dasar perhitungan tahun hijriah berbeda dengan tahun masehi. Berbeda pula model perhitungannya. Tahun masehi dimulai dari satu tahun kemudian dibagi menjadi 12 bulan, sedangkan tahun hijriah dimulai dari satuan bulan kemudian setelah genap 12 bulan disebut satu tahun.
Peredaran rembulan itu tidak terjadi pada satuan hari yang bulat melainkan ada lebihnya yaitu 12 jam 44 menit 2,5 detik atau lebih dari setengah hari. Makanya, umur bulan dalam tahun hijriah itu berselang-seling antara 30 hari dan 29 hari.

Muharam misalnya, jumlah harinya 30, Shafar 29 hari sedangkan Rabiul Awwal 30 hari. Rabiul Akhir? Ada 29 hari, Jumadal Ula 30 hari, Jumadats Tsaniyah 29 hari, Rajab 30 hari, Sya’ban 29 hari, Ramadhan 30 hari, Syawwal 29 hari, Dzulqa’dah 30 hari dan Dzulhijjah 29 atau 30 hari.

Kalau umur bulan hijriah itu selang-seling 30 hari dan 29 hari, maka dalam setiap bulan ada sisa 44 menit 2,5 detik. Ini akan menjadi 8 jam 48 menit 30 detik dalam satu tahun. Kelebihan ini akan mencapai 11 hari lebih dalam 30 tahun. Itulah sebabnya maka dalam setiap 30 tahun diadakan 11 tahun kabisat dan 19 tahun basithah. Tahun kabisat itu jatuh pada tahun ke 2,5,7,10,13,15, 18,21, 24,26 dan 29. Selama 30 tahun itu disebut satu daur.

Pergantian tanggal disesuaikan dengan pergantian hari. Pergantian hari dalam tahun hijriah terjadi kala matahari terbenam. Jadi nama hari itu dari malamnya bukan siang, bukan mulai dari tengah malam hingga tengah malam berikutnya. (Warta Dakwah No 11/Tahun X/Desember 2010).

Seperti diketahui, sebelum berhijrah, Nabi Muhammad SAW dan umat Islam yang berada di kota Makkah mendapatkan berbagai ujian dan cobaan yang tiada henti-hentinya. Ujian itu datang dari Allah SWT (pasca wafatnya Ali bin Abi Thalib dan isteri Rasulullah SAW bernama Khadijah binti Khuwailid) diiringi gangguan kaum kafir Quraisy.

Nabi Muhammad SAW sedang bersedih, berduka. Orang-orang kafir Quraisy pun mengolok-oloknya. “Muhammad telah ditinggalkan oleh tuhannya.” Beliau kesepian. Hatinya terasa kering karena beberapa lama wahyu baru yang ditunggu tak kunjung datang.

Dalam keguncangan jiwa itu, turunlah surat Ad-Dhuha. Di dalam ayat ke-5 surat itu, Allah SWT berfirman: “Kelak, Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” Apa yang dijanjikan Allah SWT dalam surat Ad-Dhuha itu tercapai beberapa tahun setelah hijrah. Tepatnya, tahun ke-10 H. Rasulullah SAW berhasil merebut kota Makkah, kota yang sangat beliau cintai karena kesuciannya.

Kemenangan itu juga dijanjikan oleh Allah SWT dalam QS Al-Qashash 28):85 : “Sesungguhnya, Dia (Allah) yang telah menjadikan ajaran Alquran sebagai panggilan kewajiban atas engkau (Muhammad) tentulah akan mengembalikan engkau ke tempat asalmu (Makkah). Katakanlah, “Tuhanku lebih tahu siapa yang dapat petunjuk dan siapa pula yang terang dalam kesesatan.” (Islam Digest Edisi Ahad, 2 dan 12 Desember 2010).

Hijrah dalam arti mengintensifkan segala daya dan upaya untuk memperbaiki diri dan bangsa perlu ditonjolkan sebagai titik tolak terjadinya proses monumental (dalam Islam) sehingga menjadi nilai universal. Jadi hal yang lumrah bila hijrah seyogianya dimaknai dari keinginan dan kesadaran untuk mengevaluasi (introspeksi) diri yang pada gilirannya menghasilkan perubahan ke arah yang lebih baik (reformasi).

Introspeksi merupakan peninjauan atau koreksi terhadap sikap, perbuatan, kelemahan dan kesalahan diri. Ia merupakan salah satu bentuk analisa kritis terhadap apa yang telah diucapkan atau dilakukan. Dengan berintrospeksi orang dapat mawas diri, tidak mengedepankan keakuannya dan tidak menafikan eksistensi orang lain. Melalui introspeksi kita akan mampu menemukan makna dari setiap tujuan yang kita miliki dan akan semakin memastikan apakah tujuan yang telah kita tetapkan sebelumnya sudah terarah atau belum.

Setelah mengintrospeksi diri (dalam bahasa agama disebut dengan muhasabah) maka (semangat Tahun Baru Hijriah) dilanjutkan dengan usaha untuk memperbaiki diri, melakukan pembenahan dan perubahan ke arah yang positif dan produktif. Untuk tujuan itu, Allah SWT sudah menegaskan agar setiap kita hendaklah mengadakan muhasabah berkaitan dengan apa yang telah dilakukan.

Firman-Nya: “Waltanzhur nafsun ma qaddamat lighad.” (Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (hari akhirat).” (QS Al-Hasyr 18). Ayat ini menunjukkan bahwa setiap manusia senantiasa mengintrospeksi dirinya guna mencapai derajat yang lebih baik.

Reformasi
Dalam konteks kekinian istilah hijrah dapat diidentikkan dengan proses reformasi. Reformasi yang tidak hanya sebatas mengganti orang, namun reformasi yang diusung dengan semangat hijrah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (terutama kaum muslimin), reformasi yang ditandai juga dengan adanya keinginan dan tekad yang kuat untuk berubah menjadi lebih baik.

Berhijrah dari pemikiran ke pengamalan, dari sekadar teoritis menjadi praktis, dari pesimistis menjadi realistis, merubah dari semangat melakukan korupsi kepada semangat mengabdi, dari semangat mendengki kepada semangat bertoleransi, dari sikap malas kepada sikap kerja keras, berhijrah dari perbuatan munkar kepada ma’ruf. Hijrah dari yang salah (batil) kepada yang benar (haq), dari syirik menuju tauhid, dari berbuat dosa menjadi beramal ibadah, dari kebebasan menjadi tanggung jawab dan dari umat jahiliyah menjadi umat berhidayah.

Begitu juga dengan reformasi dalam hal agama dan keyakinan. Kebanyakan dari kita hanya mengenal Allah SWT sebatas apa yang dimengerti dan diterima menurut akal sehat dan bukan didasarkan atas pengalaman kita ketika bergaul dengan Dia melalui firman-Nya, dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya, dalam Alquranul karim diinformasikan bahwa ternyata ada sebagian manusia yang mengklaim diri beriman kepada Allah Taala padahal Dia menegaskan mereka justru tidak beriman (QS Al-Baqarah 8) karena pemikiran dan perilaku mereka yang tidak mencerminkan golongan orang-orang yang berpredikat iman kepada Allah SWT. Cirinya adalah mengelabui manusia (berdusta) (QS Al-Baqarah 10), mengaku reformis padahal ia berbuat anarkis (QS Al-Baqarah 11-12).

Hijrah dalam arti fisik (mungkin) tidak diperlukan lagi, namun hijrah dalam arti nilai (value) yang mesti diperjuangkan justru tetap harus dipelihara dari waktu ke waktu secara konsisten. Negara dan bangsa ini terus larut dalam krisis multidimensi yang berkepanjangan antara lain karena ketiadaan semangat hijrah.

Secara normatif hijrah merupakan simbol yang memberi motivasi kuat bagi manusia dalam upaya mencapai kehidupan dan kemakmuran yang lebih baik sebagaimana yang dijanjikan-Nya, “Wa man yuhajir fi sabilillah yajid fi al-ardhi muroghoman katsiron wasa’atan (Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak).” (QS An-Nisaa’ 100).

Semoga semangat hijriah ini dapat membangkitkan kesadaran kita dalam mengintrospeksi diri untuk selanjutnya melakukan ishlah (reformasi) perubahan ke arah yang lebih baik. Karena dengan cara itulah kita menjadi manusia, hamba Allah yang beruntung. “Man kana yaumuhu khoiron min amsihi fahuwa robih (0rang yang pada hari ini lebih baik (ibadah dan ukhuwwahnya) dari hari kemarin maka dialah orang yang beruntung.” (Alhadist). Wallahu A’lam.

Sumber : Sriwijaya Post


Sumber: http://palembang.tribunnews.com/2011/12/02/hijrah-dari-introspeksi-hingga-reformasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar